Cari Blog Ini

Kamis, 25 Agustus 2011

DELAPAN GOLONGAN Penerima Zakat

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Dalam dua artikel sebelumnya kami telah membahas syarat-syarat zakat dan panduan zakat emas, perak dan mata uang. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas tema menarik lainnya tentang zakat yaitu golongan yang berhak menerima zakat. Semoga bermanfaat.
Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.” (QS. At Taubah: 60) Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.[1]
Golongan pertama dan kedua: fakir dan miskin.
Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka.
Para ulama berselisih pendapat manakah yang kondisinya lebih susah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa fakir itu lebih susah dari miskin. Alasan mereka karena dalam ayat ini, Allah menyebut fakir lebih dulu baru miskin. Ulama lainnya berpendapat miskin lebih parah dari fakir.[2]
Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang yang tidak punya harta dan usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah tiap harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan miskin adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih dari separuh kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya.[3]
Orang yang berkecukupan tidak boleh diberi zakat
Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh diberi zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ
Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan.[4]
Apa standarnya orang kaya yang tidak boleh mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan ataukah tidak. Jika ia memiliki harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung, maka tidak halal zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan walaupun hartanya mencapai nishob, maka  ia halal untuk mendapati zakat. Oleh karena itu, boleh jadi orang yang wajib zakat karena hartanya telah mencapai nishob, ia sekaligus berhak menerima zakat. Demikian pendapat mayoritas ulama yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[5]
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik kebutuhan dirinya sendiri atau orang-orang yang ia tanggung nafkahnya. Inilah pendapat mayoritas ulama.[6]
Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang mampu mencari nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ
““Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.[7]
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ
Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja, pen)[8]
Berapa kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin adalah sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih daripada itu. Yang jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat dikeluarkan setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk setahun. Barangkali pula jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki harta yang mencukupi sebagian kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi, maka ia bisa mendapat jatah zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam setahun.[9]
Golongan ketiga: amil zakat.
Untuk amil zakat, tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.”[10]
Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa imam (penguasa) akan memberikan  pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan.[11]
Siapakah Amil Zakat?
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”[12]
‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”[13]
Syeikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”[14]
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Golongan keempat: orang yang ingin dilembutkan hatinya.
Orang yang ingin dilembutkan hatinya. Bisa jadi golongan ini adalah muslim dan kafir.
Contoh dari kalangan muslim:
  1. Orang yang lemah imannya namun ditaati kaumnya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya.
  2. Pemimpin di kaumnya, lantas masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar tertarik pula untuk masuk Islam.
Contoh dari kalangan kafir:
  1. Orang kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam.
  2. Orang kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum muslimin.[15]
Golongan kelima: pembebasan budak.
Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin merdeka dengan melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.[16]
Golongan keenam: orang yang terlilit utang.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah:
Pertama: Orang yang terlilit utang demi kemaslahatan dirinya.
Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
  1. Yang berutang adalah seorang muslim.
  2. Bukan termasuk ahlu bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
  3. Bukan orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat.
  4. Utang tersebut membuat ia dipenjara.
  5. Utang tersebut mesti dilunasi saat itu juga, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.
  6. Bukan orang yang masih memiliki harta simpanan (seperti rumah) untuk melunasi utangnya.
Kedua: Orang yang terlilit utang karena untuk memperbaiki hubungan orang lain. Artinya, ia berutang bukan untuk kepentingan dirinya, namun untuk kepentingan orang lain. Dalil dari hal ini sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ بَيْنَ قَوْمٍ فَسَأَلَ فِيهَا حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ يُمْسِكَ
Sesungguhnya permintaan itu tidak halal kecuali bagi tiga orang; yaitu orang laki-laki yang mempunyai tanggungan bagi kaumnya, lalu ia meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya, setelah itu ia berhenti (untuk meminta-minta).[17]
Ketiga: Orang yang berutang karena sebab dhoman (menanggung sebagai jaminan utang orang lain). Namun di sini disyaratkan orang yang menjamin utang dan yang dijamin utang sama-sama orang yang sulit dalam melunasi utang.[18]
Golongan ketujuh: di jalan Allah.
Yang termasuk di sini adalah:
Pertama: Berperang di jalan Allah.
Menurut mayoritas ulama, tidak disyaratkan miskin. Orang kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena orang yang berperang di jalan Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu disyaratkan fakir atau miskin.
Kedua: Untuk kemaslahatan perang.
Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.[19]
Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di perjalanan.
Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat.[20]
Memberi Zakat untuk Kepentingan Sosial dan kepada Pak Kyai atau Guru Ngaji
Para fuqoha berpendapat tidak bolehnya menyerahkan zakat untuk kepentingan sosial seperti pembangunan jalan, masjid dan jalan. Alasannya karena sarana-sarana tadi bukan jadi milik individual dan dalam surat At Taubah ayat 60 hanya dibatasi diberikan kepada delapan golongan tidak pada yang lainnya.
Begitu pula tidak boleh menyerahkan zakat kepada pak Kyai atau guru ngaji kecuali jika mereka termasuk dalam delapan golongan penerima zakat yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60.
Menyerahkan Zakat kepada Orang Muslim yang Bermaksiat dan Ahlu Bid’ah
Orang yang menyandarkan diri pada Islam, ada beberapa golongan:
  1. Muslim yang taat dan menjalankan syariat Islam. Maka tidak meragukan lagi bahwa golongan ini yang pantas diberikan zakat. Jadi seharusnya zakat diserahkan pada orang yang benar-benar memperhatikan shalat dan ibadah wajib lainnya.
  2. Termasuk ahlu bid’ah dan bid’ahnya adalah bid’ah yang sifatnya kafir. Orang seperti ini tidak boleh diberikan zakat pada dirinya. Misalnya adalah bid’ah mengakui ada nabi ke-26.
  3. Ahli bid’ah (yang sifatnya tidak kafir) dan ahli maksiat. Jika diketahui dengan sangkaan kuat bahwa ia akan menggunakan zakat tersebut untuk maksiat, maka tidak boleh memberikan zakat pada orang semacam itu.[21]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sudah seharusnya setiap orang memperhatikan orang-orang yang berhak mendapakan zakat dari kalangan fakir, miskin, orang yang terlilit utang dan golongan lainnya. Seharusnya yang dipilih untuk mendapatkan zakat adalah orang yang berpegang teguh dengan syari’at. Jika nampak pada seseorang kebid’ahan atau kefasikan, ia pantas untuk diboikot dan mendapatkan hukuman lainnya. Ia sudah pantas dimintai taubat. Bagaimana mungkin ia ditolong dalam berbuat maksiat.”[22]
Sumber: www.rumaysho.com

[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, Asy Syamilah, index “zakat”, point 156.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index “zakat”, point 157.
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index “zakat”, point 158.
[4] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8254, index “zakat”, point 159.
[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8256, index “zakat”, point 163.
[7] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[8] HR. Abu Daud no. 1634, An Nasai no. 2597, At Tirmidzi no. 652, Ibnu Majah no. 1839 dan Ahmad 2/164 . Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 877. Lihat Syarh Sunan Ibni Majah, As Suyuthi dkk, Asy Syamilah 1/132.
[9] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8257, index “zakat”, point 164.
[10] HR. Abu Daud no. 1635. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih
[11] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8258, index “zakat”, point 168.
[12] Fiqh Sunnah, terbitan Dar al Fikr Beirut, 1/327.
[13] Tamamul Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Muassasah Qurthubah Mesir, 2/290
[14] Majalis Syahri Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, cet Darul Hadits Kairo, hal 163-164.
[15] Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr, Beirut, 1405 H, 7/319
[16] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8260-8261, index “zakat”, point 169.
[17] HR. An Nasai no. 2579 dan Ahmad 5/60. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[18] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8261-8262, index “zakat”, point 170 dan 171.
[19] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8263, index “zakat”, point 172 dan 173.
[20] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8264-8265, index “zakat”, point 174 dan 175.
[21] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/76-77.
[22] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 25/87.

12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan

Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.
Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:
الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء
“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)
Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.
Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.
Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.
Hadits 1
صوموا تصحوا
“Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits 2
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat yang lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.
Hadits 3
يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،
“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan,  ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.
Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’.  Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar  berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Hadits 4
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.
Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”
Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”
Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.
Hadits 5
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari  di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.
Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)
Hadits 6
لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
Hadits 7
أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”
Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).
Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.
Hadits 8
رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).
Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334),  dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).
Hadits 9
من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر
“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”
Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)
Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:
من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا
“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)
Hadits 10
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.
Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
Hadits 11
قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك
“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).
Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك
Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”
Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits 12
خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة
“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)
Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).
Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)
Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla Sya’nuhu.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
***
Disusun oleh: Yulian Purnama
Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Kisah Ka’ab bin Malik Dalam Perang Tabuk

13 Juli 2007 oleh Embun Tarbiyah
 
Kisah ini bukan kisah pertama yang ditulis di buku Teladan Tarbiyah yang saya ulas di artikel sebelumnya. Dalam buku itu kisah ini masuk dalam bagian At-Tajarrud. Mungkin di antara kita sudah sering mendengar kisah tentangnya. Biasanya kisahnya dihubungkan dengan kefuturan. Dulu saya pertama membaca kisahnya dalam buku “Yang Berguguran di Jalan Dakwah” karya Fathiyakan. Semoga bisa bermanfaat.
Pada perang Tabuk, ada beberapa sahabat yang tidak berangkat berperang. Salah satu di antar mereka. Salah satu di antara mereka adalah Ka’ab bin Malik. Marilah kita dengarkan cerita Ka’ab yang menunjukkan kejujuran imannya, usai turunnya pengampunan Allah atas dosanya.
“Aku sama sekali tidak pernah absent mengikuti semua peperangan bersama Rasululah saw, kecuali dalam perang Tabuk. Perihal ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk itu adalah karena kelalaian diriku terhadap perhiasan dunia, ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan onta, akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya.
Sungguh, tidak pernah Rasullah saw. merencanakan suatu peperangan melainkan beliau merahasiakan hal itu, kecuali pada perang Tabuk ini. Peperangan ini, Rasulullah saw. lakukan dalam kondisi panas terik matahari gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan nan teramat jauh, serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan tangguh. Jadi, rencananya jelas sekali bagi kaum muslimin untuk mempersiapkan diri masing-masing menuju suatu perjalanan dan peperangan yang jelas pula.
Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang akan berangkat. Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta, tiba-tiba timbul pikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati, “Aku bisa melakukannya kalau aku mau!”
Akhirnya, aku terbawa oleh pikiranku yang ragu-ragu, hingga para pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah. Aku lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah, maka timbul pikiranku untuk mengejar mereka, toh mereka belum jauh. Namun, aku tidak melakukannya, kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku.
Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut Akan tetapi, sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah saw. meninggalkan Madinah. Bila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku merasakan keterkucilan diri sebab aku tidak melihat orang kecuali orang-orang yang diragukan keislamannya. Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau ijinAllah Ta’ala untuk uzur atau kalau tidak demikian maka mereka adalah orang-orang munafik. Padahal, aku merasakan bahwa diriku tidak termasuk keduanya.
Konon, Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut namaku sampai ke Tabuk. Setibanya di sana, ketika beiau sedang duduk-duduk bersama sahabatnya, beliau bertanya, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?”
Seorang dari Bani Salamah menjawab, “Ya Rasulullah, ia ujub pada keadaan dan dirinya!” Mu’az bin Jabal menyangkal, “Buruk benar ucapanmu itu! Demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak pernah mengerti melainkan kebaikannya saja!”Rasulullahsaw. hanya terdiam saja.
Beberapa waktu setelah berlalu, aku mendengar Rasulllah saw. kembali dari kancah jihad Tabuk. Ada dalam pikiranku berbagai desakan dan dorongan untuk membawa alasan palsu ke hadapan Rasulullah saw., bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya? Aku minta pandapat dari beberapa orang keluargaku yang terkenal berpikiran baik. Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi saw., segera tiba di Madinah, lenyaplah semua pikiran jahat itu. Aku merasa yakin bahwa aku tidak akan pernah menyelamatkan diri dengan kebatilan itu sama sekali. Maka, aku bertekad bulat akan menemui Rasulullah saw. dan mengatakan dengan tidak sebenarnya.
Pagi-pagi, Rasulullah saw. memasuki kota Madinah. Sudah menjadi kebiasaan, kalau beliau kembali dari suatu perjalanan, pertama masuk ke masjid dan shalat dua rakaat. /Demikian pula usai dari Tabuk, selesai shalat beliau kemudian duduk melayani tamu-tamunya. Lantas, berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk dengan membawa alasan masing-masing diselingi sumpah palsu untuk menguatkan alasan mereka. Jumlah mereka kira-kira delapan puluhan orang. Rasulullah saw. menerima alasan lahir mereka; dan mereka pun memperbaharui baiat setia mereka. Beliau memohonkan ampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah. Tibalah giliranku, aku datang mengucapkan salam kepada beliau. Beliau membalas dengan senyuman pula, namun jelas terlihat bahwa senyuman beliau adalah senyuman yang memendam rasa marah. Beliau kemudian berkata, “Kemarilah!”
Aku pun menghampirinya, lalu duduk di hadapannya. Beliau tiba-tiba bertanya, “Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?”
Aku menjawab, “Ya Rasulullah! Demi Allah. Kalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain, tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dan dalil lainnya. Namun, demi Allah. Aku sadar kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkau pun menerima alasan kebohonganku, aku khawatir Allah akan membenciku. Kalau kini aku bicara jujur, kemudian karena itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kealpaanku. Ya Rasululah saw., demi Allah, aku tidak punya uzur. Demi Allah, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil disbanding tatkala aku mengikutimu itu!”
Rasulullah berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”
Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah. Mereka berkata kepada, “Demi Allah. Kami belum pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Kau tampaknya tidak mampu membuat-buat alasan seperti yang lain, padahal dosamu itu sudah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah!”
Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu hingga ingin rasanya aku kembali menghadap Rasullah saw. untuk membawa alasan palsu, sebagaimana orang lain melakukannya.
Aku bertanya kapada mereka, “Apakah ada orang yang senasib denganku?”
Mereka menjawab, “Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat. Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama dari Rasulullah sebagaimana keadaanmu sekarang!”
Aku bertanya lagi, “Siapakah mereka itu?”
Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.”
Mereka menyebutkan dua nama orang shalih yang pernah ikut dalam perang Badr dan yang patut diteladani. Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu, aku bergegas pergi menemui mereka.
Tak lama setelah itu, aku mendengar Rasululah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga, di antara delapan puluhan orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.
Kami mengucilkan diri dari masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kapada kami sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya. Kedua rekanku itu mendekam di rumah masing-masing menangisi nasib dirinya, tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka. Aku keluar untuk shalat jamaah dan kaluar masuk pasar meski tidak seorang pun yang mau berbicara denganku atau menanggapi bicaraku. Aku juga datang ke majilis Rasullah saw. sesudah beliau shalat. Aku mengucapkan salam kepada beliau, sembari hati kecilku bertanya-tanya memperhatikan bibir beliau, “Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
Aku juga shalat dekat sekali dengan beliau. Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau. Kalau aku bangkit mau shalat, ia melihat kepadaku. Namun, apabila aku melihat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali. Pada suatu hari, aku mengetuk pintu paga Abu Qaradah, saudara misanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku.
Aku menegurya, “Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tau bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?”
Ia diam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulanginya sekali lagi, tapi ia hanya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!”
Air mataku tidak tertahankan lagi. Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa.
Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinag. Tiba-tiba datanglah orang awam dari negeri Syam. Orang itu biasanya mengantarkan dagangan pangan ke kota Madinah. Ia bertanya, “Siapakah yang mau menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”
Orang-orang di pasar itu menunjuk kepdaku, lalu orang itu datang kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan. Setelah kubuka, isinya sebagai berikut, “… Selain dari itu, bahwa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu. Allah tidak menjadikan kau hidup terhina dan sirna. Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan, kamu akan menghiburmu!”
Hatiku berkata ketika membaca surat itu, “Ini juga salah satu ujian!” Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya.
Pada hari yang ke-40 dari pengasinganku di kampong halaman sendiri, ketika aku menanti-nantikan turunnya wahyu tiba-tiba datanglah kepadaku seorang pesuruh Rasulullah saw. menyampaikan pesannya, “Rasulullah memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi istrimu!”
Aku semakin sedih, namun aku juga semakin pasrah kepada Allah, hingga terlontar pertanyaanku kepadanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan kulakukan?”
Ia menjelaskan, “Tidak. Akan tetapi, kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya dari dirimu!”
Kiranya Rasulullah juga sudah mengirimkan pesannya kepada dua sahabatku yang bernasib sama. Aku langsung memerintahkan kepada istriku, “Pergilah kau kepada keluargamu sampai Allah memutuskan hukumnya kepada kita!”
Istri Hilal bin Umaiyah datang menghadap Rasulullah saw. lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang yang sudah sangat tua, lagi pula ia tidak memiliki seorang pembantu. Apakah ada keberatan kalau aku melayaninya di rumah?”
Rasulullah saw. menjawab, “Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!”
Istri Hilal menjelaskan, “Ya Rasulullah! Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi. Demi Allah, yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”
Ada seorang familiku yang juga mengusulkan, “Coba minta izin kepada Rasulullah supaya istrimu melayai dirimu seperti halanya istri Hilal bin Umayah!”
Aku menjawab tegas, “Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah saw. tentang istriku. Apa katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”
Akhirnya, hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri di rumah. Lengkaplah bilangan malam sejak orang-orang dicegah berbicara denganku menjadi 50 hari 50 malam. Pada waktu sedang shalat subuh di suatu pagi dari malam yang ke-50 ketika aku sedang dudung berdzkir minta ampun dan mohon dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini, tiba-tiba aku mendengar teriakan orang-orang memanggil namaku. ‘Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah! Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”
Mendengar berita itu aku langsung sujud memanjatkan syukur kepada Allah. Aku yakin pembebasan hukuman telah dikeluarkan. Aku yakin, Allah telah menurunkan ampunan-Nya.
Rasulullah menyampaikan berita itu kepada shahabat-shahabatnya seusai shalat shubuh bahwa Allah telah mengampuni aku dan dua orang shahabatku. Berlomba-lombalah orang mendatangi kami, hendak menceritakan berita germbira itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda. Sesudah keduanya sampai di hadapanku, aku berikan kepada dua orang itu kedua pakaian yang aku miliki. Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu.
Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasullah. Ternyata aku telah disambut banyak orang dan dengan serta merta mereka mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak seorang pun dari muhajirin yang berdiri dan memberi ucapan selamat selain Thal’ah. Sikap Thalhah itu tak mungkin aku lupakan. Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, mukanya tampak cerah dan gembira, katanya kemudian, “Bergembiralah kau atas hari ini! Inilah hari yang paling baik bagimu sejak kau dilahirkan oleh ibumu!”
“Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah?” tanyaku sabar.
“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!” jawab Rasul saw.
Demi Allah, aku belum pernah merasakan besarnya nikmat Allah kepadaku sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku, lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah saw.”
Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan penuh haru dan syahdu, sementara air matanya berderai membasahi kedua pipinya.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah:118)
)|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|(
Gimana setelah membaca kisah di atas?
Sekarang kita hubungkan dengan kehidupan saat ini. Kalau Ka’ab bin Malik absen dari perang, kalau kita saat ini kita hubungkan dengan amanah-amanah kita. Bagaimana sikap kita ketika mendapat seruan untuk dakwah? Bagaimana sikap kita ketika mendapatkan amanah? Apakah kita memiliki ruhul istijabah dan bersigera untuk melaksanakannya? Apakah justru sebaliknya kita merasa enggan, malas dan akhirnya tidak berangkat seperti kisahnya Ka’ab bin Malik itu?
Kondisi yang dialami Ka’ab bin Malik saat itu adalah contoh kondisi ketika mengalami futur, ketika kondisi keimanannya lemah. Ka’ab bukan termasuk golongan orang munafik yang mengudzurkan dirinya untuk tidak ikut perang dengan berbagai alasan. Tetapi beliau jujur kepada Rasulullah menyadari kesalahannya dan bertaubat. Beliau segera bangkit dari kondisi futurnya dan ikhlas menerima hukuman apapun. Bagaimana dengan diri kita? Apakah kita akan mengudzurkan diri kita dengan berbagai alasan ketika kita diberi amanah, padahal alasan sebenarnya karena kemalasan kita. Apakah kita akan menyalahgunakan kepandaian kita untuk membuat-buat alasan. Apakah kita sering gak datang syuro tanpa alasan yang syar’i karena kita males atau mendahulukan yang lain yang tidak penting. Atau mungkin datang tapi sengaja telat karena menunda-nunda keberangkatannya tanpa ada udzur apapun. Padahal dalam sebuah ayat Al Qur’an, kita disuruh untuk berangkat jihad dalam keadaan merasa berat maupun ringan.
Coba kita simak surat At-Taubah:41-49
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah : “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.
Semoga Allah mema`afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.
Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. Dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.”
Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.
Sesungguhnya dari dahulupun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya.
Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir. (QS.At-Taubah:41-49)
Dan bagaimana pula sikap kita jika kita ditegur terhadap kekhilafan kita? Apakah kita akan ikhlas menerimanya dan berusaha memperbaikinya serta bersikap tajarud seperti halnya Ka’ab ataukah kita justru mutung, merasa kecewa dan akhirnya keluar dari jalan ini.
Tetapi jika ada saudara kita yang melakukan kekhilafan atau futur seperti Ka’ab dan dua orang sahabatnya itu jangan kita memperlakukan saudara kita seperti mereka, mengasingkan sampai 50 hari gitu, ntar dan semakin terperosok dalam kefuturan dan akhirnyaJmalah mutung berguguran di jalan dakwah. Masalah ini coba baca artikel sebelumnya (Runtuhnya Semangat Berjuang).
Wallahu a’alam bishowab

Bukti-bukti Kesesatan NII
Sumber: swaramuslim.net
sum

Untuk memperoleh standar yang tegas dan jelas di dalam melakukan timbangan terhadap permasalahan kesesatan maupun penyesatan dalam ber-Islam, maka rujukan atau sandaran yang digunakan adalah standar yang berlaku dalam kaidah bahasa Aqidah, bahasa Fiqh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Adapun makna kesesatan menurut bahasa Al-Qur’an adalah sebagai berikut: Kata sesat atau kesesatan (dlolla aw dlolalan), digunakan sehubungan dengan keengganan manusia dalam beraqidah (paham dan sadar akan konsekuensi atas keyakinannya) berdasarkan wahyu dan nubuwwah yang berupa hidayah. Dengan kata lain, keyakinan ataupun paham atau yang mungkin di-i’tiqad-kan sebagai aqidah, namun tidak disandarkan pada dasar iman-keimanan (wahyu dan Nubuwwah: nash, dalil atau hujjah yang qath’iy dan shorih serta ma’tsur) akan tetapi lebih mengikuti kepada ta’wil dan mutasyabihat yang hakikatnya bertentangan dan berselisihan dengan prinsip hidayah, maka itulah makna kesesatan.

“Katakanlah, aku tidak akan mengikuti hawa nafsu kalian, (karena) sungguh telah tersesatlah aku jika demikian, dan aku bukanlah termasuk dari pada orang-orang yang mendapat hidayah.” (QS 6:56).

Iman, aqidah dan hidayah, bukanlah merupakan kehendak atau hasil upaya dan rekayasa manusia, sekalipun sekaliber para Nabi dan Rasul serta para Hawariy-nya. Akan tetapi, yang namanya Iman, Aqidah maupun Hidayah adalah semata-mata merupakan ketentuan dan prinsip-prinsip dari Kehendak dan Ketetapan-Nya (dalam bentuk Wahyu) orisinil yang harus diterima, dipatuhi, dita’ati, diagungkan serta dijunjung-tinggi oleh para hamba, Nabi dan Rasul-Nya.

Adapun tentang penyesatan, adl-Dlolalah wa al Mudlillah, secara bahasa sering digunakan dalam al-Qur’an untuk menyebut kalangan yang secara prinsip menolak atau mengingkari hidayah, namun lebih signifikan dalam bentuk kelakuan atau perilaku, dengan kata lain lebih berkisar pada pelanggaran atau pengingkaran yang disengaja terhadap prinsip Akhlaq dan Syari’ah. Seperti sikap dan perilaku para Munafiqin sebagaimana yang disebut dalam surah Al-Baqarah. Yaitu, mereka yang suka berdusta dan mendustakan (tidak mampu jujur), menda’wakan diri sebagai golongan yang melakukan perbaikan. Sombong, menganggap kaum mu’min sebagai orang yang bodoh, dan gemar mengejek dan berolok-olok terhadap mereka (QS 2: 8-15).

“Mereka itulah orang-orang yang telah menukar penyesatan dengan hidayah, maka tiadalah beruntung perdagangan mereka dan tiadalah mereka menjadi orang-orang yang memperoleh hidayah” (QS 2: 16).

Adapun as-Sunnah, membahasakan adl-Dlolalah secara lebih tegas dan spesifik, yaitu menggolongkannya sebagai perilaku bid’ah, atau dengan kata lain lebih terfokus pada persoalan pelaksanaan ‘ubudiyyah. Kalaupun boleh disimpulkan, kesesatan adalah masuk dalam lapangan aqidah, sedangkan penyesatan adalah tindak lanjut akibat kesalahan di bidang aqidah, sehingga teraktualisasikan dalam bentuk praktek fisik-visual maupun oral yang bersifat dan dalam wujud pelanggaran atau pengingkaran yang dilakukan secara sadar terhadap ketentuan-ketentuan akhlaq dan syari’ah, namun didakwakan sebagai sesuatu yang benar atau lebih baik, lebih tepat dan lebih benar dari petunjuk yang sebenarnya yang dibawa dan dilaksanakan Nabi SAW bersama para sahabatnya serta merasa dan beranggapan lebih berada di atas petunjuk, Allahu a’lam. Sebagaimana bunyi hadits Nabi SAW yang sangat masyhur:

“Maka sesungguhnyalah, sebaik-baik pembicaraan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk (bimbingan, tuntunan) adalah petunjuk (sunnah) Muhammad SAW. Dan seburuk-buruk perkara adalah hal yang baru (tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah). Dan setiap hal yang baru tersebut adalah (pasti) mengada-ada (bid’ah). Dan setiap yang bid’ah adalah dlolalah dan setiap dlolalah (penyesatan) adalah (berakhir) di dalam Neraka.” (HR Bukhari, Muslim dan Nasa’i).

Menurut Ibnu Katsir, dalil ayat-ayat yang menunjukkan masalah kesesatan di antaranya menyatakan: “Sesungguhnya Allah yang Maha Suci, Dia yang memiliki kesendirian dalam perkara memberi hidayah atau pun menyesatkan. Tidak sebagaimana yang dikatakan firqah Qadariyah, “Barangsiapa yang menetapkan berdasarkan keputusan mereka sendiri dari pendapat (yang menyatakan), sesungguhnya seorang hamba itu adalah mereka yang diperbolehkan untuk memilih (keputusan) dan boleh melaksanakannya serta menjadikannya sebagai hujjah terhadap bid’ah mereka yang menyerupakannya dengan Al-Qur’an, serta meninggalkan apa yang sebenarnya telah ada kejelasan di dalamnya dalam menjawab sikap-sikap mereka yang seperti itu.” Dan ini adalah persoalan ahludl-dhalal (orang sesat) dan al ghayyi (dalam kegelapan yang sama sekali tidak bisa melihat) yang telah dijawab melalui hadits shahih, “Apabila kamu melihat orang-orang yang mengikuti hal yang mutasyabihat (yang tidak jelas) mereka itulah orang-orang yang selalu menamai (mendefinisikan) Allah, maka berhati-hatilah terhadap mereka.”

Di halaman lain disebutkan yang dimaksud tersesat adalah orang-orang yang kehilangan ilmu, maka mereka kebingungan dalam kesesatan. Mereka tidak diberi hidayah kepada yang haq.[1]

Baik secara naqal maupun akal, setiap bentuk dan sifat kesesatan ataupun penyesatan, sesungguhnya tetap mencerminkan kerusakan yang pada hakekatnya bersifat membatalkan atau menggugurkan iman, Islam dan ihsan serta seluruh amal perbuatan. Bentuk kesesatan merupakan sifat kerusakan di bidang aqidah dan iman, alias syirik i’tiqadi, karena mengikut-sertakan atau mencampur-adukkan visi dan vested interested basyariyah di dalam menerima dan memperlakukan (mensikapi) Wahyu dan Nubuwwah di lapangan iman dan aqidah. Sedangkan penyesatan adalah kerusakan di bidang peribadatan dan amaliyah Islami, dengan sebab yang sama, yaitu visi dan vested interested basyariyah, yakni bid’ah atau syirik ‘amali.

Kedua macam syirik inilah yang lebih sering dan cenderung menghinggapi banyak kalangan tanpa disadari oleh penganutnya. Suatu ketidak-sadaran ketika sedang dalam melakukan kesalahan, yang sebenarnya bisa dihindarkan atau dikurangi, manakala seseorang memiliki sifat dan kebiasaan jujur, amanah, pemberani, dan tidak mudah menyerah. Karena sifat dan sikap ketidak-sadaran sesungguhnya merupakan cerminan dari ketiadaan atau tidak mengendapnya iman dalam dada atau qalbu seseorang. Ketidak-sadaran juga akan mengantar kepada pengingkaran serta menjauhkan hati seseorang terhadap apa yang sebenarnya merupakan komitmen antara diri dengan Tuhannya. Sehingga sekalipun orang ataupun kalangan yang seperti ini secara jelas dan tak terbantah telah melakukan kesalahan yang prinsipal, kenyataannya toch masih juga merasa berada dalam aqidah serta keimanan yang hanif dan benar, bahkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. Sebagaimana disinggung dalam surah Al-Kahfi ayat 103-104:

“Katakanlah, sudahkah kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi dalam perbuatannya. Yaitu, orang-orang yang sesat (sia-sia atau gugur) amal usahanya dalam kehidupam di dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.“

Kesesatan dan penyesatan mereka sesungguhnya terletak pada persangkaan baik mereka pada diri sendiri. Secara hakikat dan otomatis sesungguhnya mereka telah menolak atau kafir terhadap ayat-ayat Rabb mereka serta perjumpaan dengan-Nya. Dengan kesesatan dan penyesatan itu maka hapuslah (gugur) amal-amal mereka, dan selanjutnya Allah tidak akan melakukan penilaian atau menimbang atas amal-amal mereka pada hari Kiamat kelak, karena kesesatan dan penyesatan yang mereka lakukan itu adalah merupakan kekafiran serta olok-olok atau ejekan mereka terhadap ayat-ayat maupun Rasul-rasul-Nya. (QS 18:105-106).

Berbeda dengan kesesatan dan penyesatan yang dijalankan oleh kalangan NII KW-9 maupun Abu Toto alias AS (Abdus Salam) Panji Gumilang secara khusus, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Mungkin, karena faktor budaya yang muncul akibat peradaban jahiliyyah hasil dari struktur kekuasaan yang sangat menindas, dan juga akibat falsafah Pancasila yang sinkretik, pengaruh dari penindasan kolonial dan sosio-kultur masyarakat yang mudah terbawa dan terpengaruh oleh berbagai macam agama, sehingga budaya masyarakat Indonesia pada akhirnya cenderung liar (semaunya sendiri), telmi (telat mikir), inkonsisten, tetapi suka melecehkan.

Yang lebih aneh lagi pada bangsa ini adalah tatkala Islam hadir mendatangi mereka, yang bila di tempat atau di bumi belahan lain masyarakatnya bisa berubah secara signifikan, tetapi entah kenapa untuk masyarakat Indonesia yang ternyata terjadi justru sebaliknya? Artinya, kenapa justru Islamnya yang berubah atau bisa diubah sedemikian rupa setelah diterima oleh masyarakat ini? Keberanian untuk mengubah Islam seperti ini apakah akan menunjukkan kehebatan bangsa ini atau justru sebaliknya, karena terlalu membudayanya dzulumat fauqa dzulumat pada bangsa ini?

Maka sama sekali tak mengherankan bila Islam di Indonesia itu ada bermacam-macam versi dan warna. Namun yang jelas dan pasti pada masing-masing komponen bangsa Indonesia --kecuali yang dirahmati dan dipelihara Allah-- ke-Islamannya cenderung liar, bandel, telmi, inkonsisten dan selalu melecehkan Islam dan Rabb serta Ilah mereka yang sebenarnya. Sementara dalam waktu yang bersamaan, mereka merasa sebagai anak negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia sudah berbuat banyak demi syi’ar Islam, seperti demo (unjuk rasa), istighatsah, tabligh akbar, kongres, muktamar dan merayakan hari-hari besar Islam, ber-harakah untuk menegakkan dan memperjuangkan Islam, melalui forum atau lembaga ini dan itu.

Padahal, antara fakta dan realitas yang bisa dilihat dan diukur, bila dibandingkan dengan slogan ke-Islaman yang dikedepankan, ternyata masih tetap senjang, jauh panggang dari api. Baik wujud maupun bayang-bayang ke-Islamannya masih tetap sesat dan tersesat serta menyesatkan: Liar, Bandel, Inkonsisten, Melecehkan dan Menjauhi Islam.

Nah, bagaimana halnya dengan sepak terjang KW-9, baik kurun waktu di bawah kepemimpinan Haji Abdul Karim dan kemudian Haji Muhammad Ra’is dari tahun 1984/5 – 1992 maupun di bawah kepemimpinan Abu Toto asy-Syaikh AS Panji Gumilang, gelar kebesarannya saat ini, sejak dari tahun 1992 hingga tahun 2002 sekarang, yang telah menimbulkan banyak korban? Secara riil yang lebih banyak dirugikan, baik moril materil oleh KW-9 sejak masa Haji Karim sampai Abu Toto adalah ummat Islam pada umumnya, dan khusus adalah kalangan NII atau DI serta kalangan pergerakan.

Kerugian yang diderita ummat Islam secara moril adalah telah terkontaminasinya pemikiran dan pemahaman mereka tentang Islam, sehingga mereka sama sekali tidak menyadari dan tanpa terasa telah terjerumus pada suatu keyakinan yang menjungkir-balikkan prinsip-prinsip keimanan-aqidah, yang untuk selanjutnya berdampak pada pelecehan terhadap Syari’at serta bermuara pada degradasi akhlaq yang juga berarti melakukan pelecehan terhadap Allah SWT.

Suatu tindak pemurtadan dan sekaligus penindasan serta pemiskinan telah berlangsung terhadap ummat Islam di Indonesia. Suatu tindak kejahatan politik, sosial dan pelanggaran HAM yang sangat serius yang mungkin belum pernah dilakukan oleh kelompok sempalan mana pun yang ada dalam masyarakat dan bangsa Indonesia, seperti Islam Jama’ah (LDII-Lembaga Dakwah Islam Indonesia) misalnya, yang sudah dikenal secara luas sesat dan menyesatkan serta eksploitatif terhadap para anggota jama’ahnya ternyata masih belum sekejam KW-9 atau NII-nya Abu Toto, gerakan sesat yang mengatas-namakan NII di balik pesantren mewah Al-Zaytun. Demikian pula halnya dengan jama’ah Ahmadiyah yang punya konsep wahyu dan kenabian secara tersendiri serta menyimpang, masih belum sekejam KW-9 atau NII-nya Abu Toto. Demikian pula aliran-aliran sesat lainnya mereka masih tidak sekejam KW-9 atau NII-nya Abu Toto.
A. Penyimpangan I’tiqad/Aqidah
Kedhzaliman yang paling dahsyat yang dilancarkan oleh KW-9 baik masa kepemimpinan Haji Abdul Karim, Haji Ra’is maupun kepemimpinan Abu TOTO adalah menciptakan Syirik. Berdasarkan data-data yang telah tertuang di atas dari beberapa kesaksian dan laporan para mantan pengikut Abu Toto, maka syirik yang diciptakan NII KW-9 kurun 1984-5 s/d 2002 sekarang adalah menyusun sistematika tauhid secara serampangan, dengan membaginya kedalam 3 substansi Tauhid, di antaranya ialah: Tauhid Rububiyyah, Tauhid Mulkiyyah, Tauhid Uluhiyyah tanpa dasar disiplin ilmu sedikit pun (sangat liar). Antara lain:

1. Menjadikan Tauhid Mulkiyyah, sebagai alat, alasan, isu (tema) sentral untuk menjadikan politik (pencapaian kekuasaan/kedaulatan) sebagai panglima dari pemikiran, kesadaran dan gerakan. Sehingga menimbulkan kerancuan, dan berakhir pada ketidak-ikhlashan, keluar dan menyebal dari disiplin ilmu yang telah baku dan standar. Oleh komunitas NII Tauhid Mulkiyah dijadikan isu (tema) sentral yang menekankan mutlak-absolutnya menghadirkan dan memiliki keimanan akan wajibnya mencari dan menghadirkan Kerajaan Allah serta kepemimpinan yang membawa amanat Kerajaan Allah. Seharusnya, konsep Tauhid Mulkiyah digunakan untuk menyadarkan kepada eksistensi Rububiyatullah, sehingga yang mutlak dan wajib adalah menerima dan menjalankan kepatuhan, keta’atan dan ketundukan serta kepasrahan hanya diberikan kepada Allah semata, sebagai konsekuensi keimanan terhadap Uluhiyah Allah dalam bentuk dan wujud kesadaran Tauhid al Ibadah dan bukan Tusyrik al Ibadah. Inilah kesalahan NII dalam menerjemahkan Tauhid Mulkiyyah.[2]

2. Meyakini --dan berusaha meyakinkan kepada jamaahnya, bahkan kepada kita semua-- tentang belum berakhirnya Nubuwwah, sekaligus mendakwakan diri sebagai pemilik derajat kenabian, serta menjadikan nama-nama nabi sebagai gelar atau pangkat (jenjang kepangkatan) di lingkungan mereka, yang semata-mata dilandasi oleh kepentingan serta seleranya sendiri.

3. Meyakini kerasulan itu tidak akan berakhir selama masih ada orang yang menyampaikan da’wah Islam kepada manusia. Kesimpulan mereka, bahwa setiap orang yang menyampaikan da’wah Islam pada hakikatnya adalah rasul Allah.

4. Menciptakan ajaran dan keyakinan tentang adanya otoritas nubuwwah pada diri dan kelompok mereka dalam menerima, memahami dan menjelaskan serta melaksanakan maupun dalam memperjuangkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW hingga tegaknya syari’at dan kekhalifahan di muka bumi. Dengan menetapkan doktrin (redefinisi) tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah secara serampangan serta menyesatkan, antara lain:

a. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad SAW untuk menata dunia secara baik dan benar menurut yang dikehendaki dan ditetapkan Allah. Dengan demikian Al-Qur’an juga sebagai Undang-undang, hukum dan tuntunan yang harus diterima dan dilaksanakan manusia.[3] Namun dalam prakteknya bagaimana mereka mensikapi, memperlakukan ataupun memahami Al-Qur’an, maka itu terserah manusia, yakni bebas melakukan ta’wil maupun tafsir, baik ayat yang muhkam ataupun yang mutasyabihat.
b. Sedang As-Sunnah adalah perilaku Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan Al-Qur’an yang ternyata mengikuti millah (ajaran) dan tatacara pengabdian Nabi Ibrahim As. Selain itu Nabi Muhammad juga diyakini sebagai kader Nabi Isa bin Maryam yang dididik dan dibina oleh kaum Hawary yang notabene pengikut setia Nabi Isa As atau hasil transformasi ajaran Nabi Isa As.[4]

Kesimpulannya, Sunnah Nabi SAW itu adalah sunnah yang dijalankan para nabi dan rasul sejak dari Nabi Adam As hingga Nabi Isa As. Oleh karenanya orang beriman itu tidak boleh memisah-misahkan antara rasul yang satu dengan yang lain, dan beriman kepada Al-Qur’an yang benar itu adalah menerima seluruh ajaran yang ada dalam Al-Qur’an yang berlaku sejak Nabi Adam As hingga Nabi Muhammad SAW. Sehingga mengamalkan dan menegakkan Al-Qur’an itu adalah menegakkan sunnah para Rasul dan Nabi sejak Adam As hingga Muhammad SAW.

Berdasarkan pemahaman inilah Abu Toto mencanangkan prinsip toleransi dan perdamaian serta menyatakan adanya kebolehan dalam memahami –melakukan ta’wil dan tafsir— terhadap Al-Qur’an menurut kemampuan masing-masing orang, demikian pula kebolehan untuk men-ta’wili dan menafsiri ulang terhadap keseluruhan ayat Al-Qur’an yang berisikan berbagai perumpamaan dan kisah-kisah,[5] dengan catatan, sepanjang itu merupakan ajaran dan sunnah para nabi sejak Adam As hingga Muhammad SAW.

Maka kerancuan pun terjadi dalam menafsiri ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan kisah atau sejarah yang pernah terjadi pada masa para nabi sebelum Rasul SAW, seperti kisah Ash-habul Kahfi, menghadapi masa paceklik di masa Nabi Yusuf, dan periodesasi Makkah-Madinah yang dapat diterapkan kembali pada masa sekarang, sekalipun hal itu sangat inkonsisten dan sama sekali tanpa argumentasi. Hanya dengan pemahaman yang seperti itulah menurut Abu Toto AS (Abdus Salam) Panji Gumilang, perpecahan yang terjadi dalam kehidupan umat manusia bisa diatasi, tanpa harus bertentangan dan bertempur antara satu dengan lainnya. Sehingga potensi maupun energi yang dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat atau bangsa bisa diorientasikan kepada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan.

Menciptakan struktur (jenjang) kepangkatan dalam organisasi pergerakannya dengan menjadikan nama-nama nabi bahkan nama malaikat sebagai nama tingkat kedudukan (kepangkatan), serta meyakininya sebagai hal yang benar dan absah. Merusak keimanan dan aqidah (keikhlasan) para pengikutnya melalui pembusukan pada niat dan tujuan serta iming-iming pangkat maupun jabatan serta futuh (kemenangan) terhadap penguasa RI, dengan meyakinkan melalui doktrin, bahwa secara diam-diam sekitar 50% dari kekuatan TNI-Polri telah berpihak kepada NII sehingga pasti menang yang dalam istilah mereka merujuk kepada sebuah ayat yang berbunyi: “Nashrun minallahi wa fathun qariib.”
B. Penyimpangan Ma’nawi dan Target Ta’lim
Perusakan iman lainnya antara lain di dalam pelaksanaan tilawah atau ta’lim, indoktrinasi lebih ditekankan kepada jasa dan perjuangan serta usaha Kartosoewirjo di dalam menegakkan Daulah Islamiyah dan menentang atau memerangi Penguasa Jahiliyyah (RI) maupun penjajah (Kolonial Belanda dan Jepang). Praktek kesadaran bertauhid dalam mengaplikasikan al Wala’ dan al Bara’ lebih diacukan kepada perwujudan yang telah dilakukan oleh Kartosoewirjo dan NII, yang digambarkan sabar, gigih dan istiqamah. Pada akhirnya baik qiyadah maupun uswah dalam pelaksanaan iman dan Islam menurut doktrin NII tidak ada yang lain yang lebih tepat dan patut kecuali diberikan kepada Kartosoewirjo, Imam pertama Negara Islam Indonesia dan para pelanjut estafeta kepemimpinan NII. Secara otomatis dalam waktu yang bersamaan, bersikap membenci, menentang dan melepaskan terhadap setiap ikatan non-Islam (non-NII) atau sistem Jahiliyyah, apapun bentuknya adalah suatu keharusan yang mutlak dan absolut.

Inilah efek tragis dari doktrin mulkiyah yang sesungguhnya telah nyata-nyata mulhid, keluar dari rel tauhid yang benar. Disebut mulhid, karena doktrin itu mengajak kepada upaya melepaskan diri dari kewajiban dan tanggung jawab untuk tetap menjaga komitmen dan konsistensi dalam memberikan ketha’atan kepada Rasul SAW dan Khulafa ur Rasyidin (Tauhid al Ittiba’). Sebaliknya, hanya mencukupkan diri ittiba’ kepada figuritas dan prestasi al Mubtadi’ Kartosoewirjo yang sama sekali tidak memiliki legitimasi Qur’ani dan Haditsi di dalam melaksanakan peribadatan – fiqh ‘ibadah, muamalah & harakah. Doktrin itu disadari atau tidak telah membawa kepada sikap keberagamaan yang primordial paganistis seperti layaknya agama Abana (agama nenek moyang) yang jauh dari Iman serta keikhlashan. Akar pemahaman dan tafsir sesat yang lucu dan liar ini kemudian disandarkan pada ayat yang suci dan luhur di bawah ini:[6]

“Sungguh telah ada bagi kalian contoh dan teladan yang baik dalam diri Rasulullah SAW, bagi orang-orang yang mengharap pertemuan dengan Allah dan hari akhir.” (QS 33:21).

Penekanan pada metode brain washing dalam tilawah, tazkiyah maupun ta’lim dalam rangka memasukkan nilai-nilai simbolik dalam beragama (yang ternyata telah di-degradasi), akibatnya konsep Tazkiyyah yang meliputi dimensi Aqidah-Pemikiran, dimensi Ruhiyah-Bathiniyah dan dimensi Ruhiyah-Bathiniyah dan dimensi Fisik-Pengamalan ibadah tidak saja mengalami distorsi, tapi malah lebih parah lagi yaitu memasuki wilayah kekeliruan tafsir yang menghasilkan pseudo conclution.

Tazkiyah di bidang Aqidah-Pemikiran tidak lagi diacu kepada sikap yang merujuk dan ittiba’ terhadap apa yang ditetapkan dan dikehendaki oleh wahyu maupun nubuwwah --atau upaya rasionalisasi sebagai pembelaan dan menjaga kemurnian serta keagungan dari para hamba dan makhluq-Nya terhadap nilai dan prinsip Iman maupun Islam-- sebagaimana keteladanan yang dicontohkan oleh para shahabat Rasul SAW serta para salaf. Akan tetapi, oleh NII (khususnya NII KW-9), masalah aqidah-akal pemikiran justru malah dibebaskan untuk mencari dan melakukan kreasi dalam berpikir serta memikirkan bagaimana bisa mendzhahirkan Iman dan Islam menurut kemampuan masing-masing sebagai manusia, asalkan itu merupakan ajaran atau sunnah para nabi dan rasul Allah. Sayangnya, ini pun ternyata hanya berlaku di kalangan Komandan Wilayah saja. Artinya, bagi jama’ah tetap harus berorientasi kepada keputusan/petunjuk (qoror) komandan. Karena qoror atau ketetapan/juklak adalah representasi dari Al-Qur’an, sehingga tidak perlu lagi merujuk dan mengikuti Al-Qur’an.

Akibatnya kewajiban dan tanggung jawab terhadap tazkiyyatul aqidah-pemikiran menjadi sama sekali tak tersentuh, namun yang terjadi adalah lahirnya program-gerakan takhbitsatul Aqidah-Pemikiran (pengkotoran/pembusukan pemikiran), sehingga dalam praktek berfikir dan beraqidah tidak perlu ada lagi disiplin ilmu baik yang berdimensi-standard wahyu maupun nubuwah serta salafiyah. Bahkan praktek pemberhalaan justru banyak terjadi, demikian pula praktek ta’wil dan tasyabbuh terhadap Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang sebenarnya adalah nash yang qath’i (pasti), sharih (jelas) dan bayyin (terang atau nyata). Sebagai contoh, ini terbukti terdapat dalam majalah Al-Zaytun edisi 11-2000 halaman 31, dalam rubrik Khas Ramadlan “Mengambil Hikmah Bulan Ramadlan” oleh Syamsi Rendra, konsep dan penjelasan tentang Tauhid yang sangat rancu dan asing. Antara lain menyebutkan sebagai berikut:

Sedangkan perumpamaan seseorang yang bertaqwa termaktub sebagaimana firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 24-25, "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Rabbnya, Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat."

Dari ayat tersebut di atas Allah telah jelas dan gamblang menjelaskan bahwa syarat untuk mendapatkan pohon yang baik adalah dengan akar, batang dan buah. Bila syarat tersebut terpenuhi maka barulah penanamnya akan mendapatkan hasil panennya. Lebih jauh secara filosofis perumpamaan tersebut merupakan cerminan rububiyah (akar), mulkiyah (batang) dan uluhiyah (buah). Dengan demikian segala bentuk kebaikan seperti tercermin dalam ayat tersebut haruslah berbentuk suatu aturan atau undang-undang (rububiah), negara (mulkiah) dan umat (uluhiah). Apabila sebuah tatanan telah memenuhi tiga syarat tersebut maka berhaklah umat menyandang gelar taqwa.[7]

Inilah gambaran dan bukti konkret dari rusak, sesat dan menyesatkannya komunitas Al-Zaytun di dalam memberikan ta'wil tentang konsep tauhid secara serampangan, ini telah menunjukkan tentang betapa indisiplinernya mereka terhadap disiplin ilmu tafsir maupun terhadap paradigma masyarakat Nabi SAW dan shahabat ra. Padahal Allah telah menetapkan dan menghendaki agar setiap umat Muhammad hendaknya menjadi pembela, penjaga dan pengagung agama-Nya sebagaimana dalam firman-Nya: "Sesungguhnya Kami mengutusmu Muhammad sebagai saksi dan memberi khabar gembira serta peringatan agar mereka beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya serta memperkuat (agama)-Nya, memuliakan-Nya dan mensucikan-Nya. "(QS. 48:8-9).

Di dalam sejarah Islam, pola dan target utama awal pembinaan adalah konsentrasi pada pembangunan dan pembinaan sektor aqidah sebagai faktor persiapan dan kesiapan diri untuk menjadi mu' min dan sebagai subjek serta agen perubahan, pelaku kesadaran yang aktif untuk tunduk, merujuk, ittiba’ dan istiqamah serta ta'dzim (mengagungkan syari'at) secara bersinambungan dan lazim kepada Allah dan rasul-Nya atau bisa juga disebut sebagai perwujudan dari sifat pengabdian yang senantiasa mukhlish dan muhsin, yang kemudian berlanjut ke tahap takwin, Bina u asy-Syakhsiyah dan Tandzhimu al Jama’ah (al Ummah). Dengan target mencapai tingkat kesadaran kemukminan sebagai berikut: [8]

1. Yang murni dan bersih (al-Zakiyyu), ikhlash keimanan ruhiyah/qalbunya dari seluruh ihwal syirik (Akbar: al-watsan, thaghut wal andad; al-ashghar: ghairu liwajhillah, riya' wa al-sum'ah) dan mukhlish pula kesadaran-aqidah dan akalnya dari ihwal ta'wil ataupun mutasyabihat. Mukhlish dan Muhsin kesadaran Iman terhadap Rububiyah, Uluhiyah, Asma’ dan Sifat Allah, sehingga muncul komitmen (tanggung-jawab) untuk mengabdi kepada Allah dengan memberikan kepatuhan, ketaatan, ketundukan dan kepasrahan terhadap Syari'at, Akhlaq dan Iqamatu ad Dien seraya mengharapkan Maghfirah, Rahmat, karunia dan Keridlaan-Nya secara terus menerus (istimrar) dan konsisten,[9] sehingga terpeliharalah dari kekuasaan iblis yang terus-menerus berupaya menyesatkannya.

2. Tuma'ninah dan muthma'innah (dalam Syakhshiyatu al-Islaimyah), keimanan yang mampu mempertautkan kesadaran ruh (qolb) dengan pemikiran dan gerak fisiknya hanya untuk dan dalam rangka beribadah kepada Allah semata dalam wujud aktivitas shalat, dzikr, ta'lim dan tilawah serta kedermawanan (Shadaqah) secara mukhlish dan muhsin, kokoh dan istiqamah dalam sikap yang senantiasa menjauhi atau membersihkan diri dari anasir kezhaliman, sehingga tidak tergoyahkan oleh adanya ujian maupun bencana serta urusan kebutuhan pribadi ataupun keluarga, sehingga terpeliharalah ia dari tuntutan dan belenggu nafsunya sendiri atas jaminan perlindungan serta pertolongan Allah.

3.  AI-Muraqabatu wa an-Najiyyah, keimanan yang Wiqayah wal Itqani (Taqwa bi al-Wara' dan Salamatu ash-Shadr bi al-Zuhud) sehingga mampu dan awas terhadap hadirnya anasir syirk al-ashghar maupun al-Firaq (memisahkan diri), al-Ahwa’ (memperturutkan nafsu untuk memburu eksistensi) serta al-Bida’ (sektarian) sehingga sehingga terpelihara dari sifat dan perilaku serta mampu mengantisipasi perilaku Hizbiyyah wa al-'Ashabiyyah. (bi al-Ukhuwwah Islamiyah walaisa bi al-Ukhuwwah Jama'ah).

4. Al 'Izzah wa al-Muntijah (bi al-Jama'ah Islamiyah/Jama'atu minal Muslimin), keimanan yang senantiasa Mujahadah Lii’lai kalimatillah bi al 'Amilush-Shalih wa al-jihad (sehingga memperoleh jaminan: yadulllahi ma'al Jama'ah/yadullahi fauqa aidihim) terpelihara dari dan menang terhadap tipu-daya maupun kejahatan serta kedengkian al-Kuffar wal Munafiqqin, bi an Nushrah wa 'Aunil’llah.

Tazkiyyah di bidang Ruhiyyah-Bathiniyah disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul SAW antara lain: "Sungguh  keberuntunganlah bagi siapa yang membersihkan jilwa (ruh atau bathin)nya dan kecelakaanlah bagi siapa yang mengotorinya. "(QS. 91:9-10).

"Maka adapun orang yang sewenang-wenang (melampaui batas) dan mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya neraka jahimlah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang khawatir terhadap maqam Rabb-nya serta menahan jiwanya dari keinginan nafsunya, maka  maka sesungguhnya sorgalah tempat tinggahya." (QS. 37:41).

Bersabda Rasulullah saw: Sesungguhnya Allah berfirman dalam hadits qudsi: "Allah mewahyukan kepada Dawud as.: Katakanlah kepada orang-orang yang melakukan kezhaliman, janganlah kalian berdzikir kepada-Ku, karena sesungguhnya Aku memperhatikan orang-orang yang berdzikir kepada-Ku, namun sesungguhnya dzikir-Ku terhadap mereka (yang melakukan kezhaliman) adalah untuk melaknat mereka. " (HR Al Hakim, Ad Dailami dan Ibnu Asakir, bersumber dari Ibnu Abbas).

"Allah telah mewahyukan kepadaku: Wahai saudara-saudara para rasul,wahai saudara-saudara para pemberi peringatan, berilah kaummu peringatan, bahwa janganlah mereka memasuki rumah-rumah di antara rumah-rumah-Ku kecuali dengan hati yang selamat, lidah yang jujur-benar, tangan yang bersih, dan kemaluan yang suci. Dan janganlah mereka memasuki rumah-rumah-Ku padahal salah seorang dari para hamba-Ku terhadap seseorang diantara mereka berlaku zhalim. Karena sesungguhnya Aku akan melaknatnya selama ia berdiri melakukan shalat di hadapan-Ku hingga ia kembalikan hasil aniayaannya itu kepada pemiliknya. "(HR Abu Nu'aim, Hakim, Ad Dailami dan lbnu Asakir).

Sedangkan dalam NII, masalah tazkiyatu arRuh dan al-Qolb justru sama sekali tidak diajarkan, oleh karenanya sikap dan tindakan ananiya maupun taqlid buta serta 'ashabiyah adalah cacat bawaan mereka. Artinya, berbuat zhalim serta melakukan kezhaliman memang adalah watak dan kebiasaan mereka. Sebab doktrin yang mereka terima menyatakan, terhitung sejak seseorang bersedia menerima dan kemudian bergabung dengan NII yang disahkan melalui musyahadah (Bai'at) dan memenuhi berbagai persyaratan lainnya seperti tazkiyah baitiyah, shadaqah musyahadah dan lain sebagainya, maka mulai detik itu dia bagaikan orang yang baru dilahirkan dari rahim ibunya, suci, Mukmin dan langsung sebagai orang yang shalih yang berhak untuk mewarisi (menguasai) bumi.

Tentang tazkiyyah di bidang fisik (pengamalan iman dan Islam), Allah dan rasul-Nya menetapkan bahwa paradigma beribadah yang baik dan benar itu adalah harus mengikuti dan berdasarkan perintah serta contoh yang dilaksanakan Nabi dan para shahabatnya.

"Kewajiban kamu sekalian adalah melaksanakan sunnahku dan sunnah para khalifahku (khulafaur Rasyidin), gigitlah hal itu kuat-kuat dengan gigi gerahammu" (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

"Siapa yang melakukan suatu perbuatan tidak didasarkan pada perintahku, maka perbuatannya tertolak."(HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

Tazkiyyah fisik yang dipraktekkan oleh kalangan NII khususnya NII Abu Toto KW-9 atau NII AI-Zaytun sama sekali bukan dengan cara mengikuti disiplin amal Islami, yaitu tertib dan disiplin terhadap rukun lahiriyah manhaji dalam melaksanakan peribadatan atau amal shalih, akan tetapi tazkiyyah fisik yang mereka terapkan adalah tazkiyyah serba melalui tebusan dan pembayaran dengan uang atau harta lainnya, yang lazim dikenal dan hanya berlaku di kalangan Kristiani, Yahudi maupun Majusi.

Maka sangat tidak mengherankan bila dalam NII KW-9 atau gerakan sesat NII AI-Zaytun, seseorang yang ingin menjadi baik, benar dan suci serta Islami tidak perlu repot-repot, gampang saja, ta'at dan turuti perintah maupun penjelasan pimpinan beserta aparatnya, apapun bentuk perintah maupun penjelasan mereka, itu telah sama dengan beribadah serta melaksanakan tazkiyah. Na'udzubillahi tsumma na'udzubillahimin dzalik![10]

Menciptakan periodesasi 'paradoksa', yakni rancu, serampangan dan sangat inkonsisten dalam pelaksanaan Islam. Periode Makkah sebagai periode Kahfi (sirriyatud da'wah, 'ubudiyyah dan tandzhim: merahasiakan da'wah, peribadatan mahdliyyah dan kelembagaan). Namun dalam waktu yang bersamaan dalam doktrin yang diajarkan tiba-tiba telah ada Madinah, wajib hijrah, wajib jihad, wajib bai'ah (jama 'ah, imamah dan tha 'ah) wajib infaq fie sabilillah dan berbagai tanggungan serta kewajiban di masa nabi dan para sahabat (masyarakat madinah yang sebenarnya) tidak pernah mewajibkannya, hanya dengan melalui qoror-qoror dan perintah Imam yang dalam prakteknya berkekuatan hukum lebih tmggi dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka sangat luar biasa sekali kesesatan dan penyesatan yang mereka lakukan tersebut.

Konsekuensi periodesasi di atas mengakibatkan munculnya paham tarikush shalat (meninggalkan shalat) atau paling tidak menyia-nyiakan shalat menjadi trend atau gaya keberagamaan mereka dengan banyak alasan, diantaranya:

a. Belum diwajibkan.
b. Lebih mengutamakan arti dan hakekat shalat.
c. Aktivitas tilawah, tazkiyah, ta'lim dan tartib dan lain sebagainya diyakinkan memiliki nilai sama dengan telah mengerjakan shalat.[11]
d. Dzikir/wirid dan da'wah yang dikembangkan dalam doktrin KW-9 adalah melakukan syuro atau briefing membahas seluruh program negara agar berhasil.[12] Itu dianggap lebih penting daripada shalat.

Pelaksanaan shaum Ramadlan wajib dilaksanakan, namun ketentuan waktu berbuka (ifthar) ditetapkan satu jam sebelum waktu maghrib tiba. Sedangkan waktu sahur atau batas waktu larangan makan dan minum ditetapkan pada waktu terbit matahari. Bagi mereka yang tertidur, diperbolehkan sahur di saat mereka terjaga, sekalipun misalnya sudah pukul 8.00 wib. Adapun shalat tarawih, tidak perlu dilaksanakan. Praktek menyimpang seperti ini memang tidak akan didapati dalam kompleks dan komunitas Ma’had Al-Zaytun sekarang, karena doktrin dan praktek keagamaan tersebut berlaku efektif sejak sekitar 1987-1988 di kalangan jama'ah atau warga NII KW-9 (NII Abu Toto) yang berada di luar Ma'had Al-Zaytun sampai sekarang.

Menetapkan pemahaman, status masa (situasional/kondisional) Madinah NII saat ini terhadap rezim Orde Baru sebagai masa Hudaibiyah, hal ini berlaku sejak tahun 1962, atau sejak tertangkapnya Kartosoewirjo. Yang kemudian mengeluarkan seruan kepada para Mujahidin TII untuk menghentikan perlawanan (jihad fie sabililIah) terhadap pemerintah RI dan dialihkan menjadi Jihad Fillah, yang maksudnya adalah Dakwah.[13]

Memahamkan terhadap hadits tentang Firqatu an-Najiyah adalah merupakan jelmaan atau personifikasi dan sari-pati, hasil perasaan ahlul firqah yang berjumlah 73 kelompok, sebagaimana yang disabdakan Nabi saw. Berdasarkan logika, Firqah yang selamat, tadinya juga berasal dari 73 kelompok yang sesat tersebut. Maka pantas saja bila NII KW-9 pada akhirnya muncul sebagai kelompok firqah sesat yang paling zhalim dan kejam di antara firqah- firqah yang ada di muka bumi selama ini.
C. Penyimpangan Syari'ah
Menghalalkan merampok, mencuri, menipu, memeras, merampas atau melacur asalkan demi kepentingan Negara atau Madinah. Hal tersebut disandarkan pada filosofi sesat atas kepemilikan wilayah teritori Indonesia oleh Negara Islam Indonesia, atas dasar Proklamasi NII dan ke-Khalifahan Kartosoewirjo pada tahun 1949, serta dalam rangka aplikasi atau praktek dari ayat "Sesungguhnya bumi ini diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang Shalih".

Dengan menekankan keyakinan bahwa pada dasarnya terhitung sejak proklamasi berdirinya NII tahun 1949, maka seluruh wilayah Indonesia beserta isi dan kekayaannya adalah milik NII dan segenap warganya. Namun karena hal itu kini dirampas dan dikuasai oleh Rezim Pancasila beserta rakyatnya, oleh karenanya wajib hukumnya mengambil kembali harta kekayaan milik NII tersebut dengan jalan apapun untuk kepentingan Negara Islam Indonesia.

Inilah dasar falsafi adanya prinsip "tubarriru al washilah” menghalalkan segala cara. Doktrin ini diyakinkan melalui penyampaian secara berulang-ulang dalam materi tazkiyah untuk umat dan dalam acara irsyad untuk para mas'ul.

Melakukan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan yang definitif dalam bidang Syari'ah dan Fiqh, berdasarkan selera nafsu dan logika akal yang lemah, seperti masalah Zakat Fithrah, 'Udhiyah atau Qurban, Qiradl dan Infaq serta Shadaqah yang bentuknya macam-macam, dan sangat mengada-ada, yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat Islam mana pun. Bahkan mungkin bisa dibilang, apa yang ada pada Islam seluruhnya diubah total tanpa terkecuali. Dalam pemahaman dan praktek zakat fithrah serta qurban yang telah dilakukan oleh Abu Toto dan komunitas NII Al-Zaytun adalah mengubah makna hadits-hadits yang sebenarnya mu'tabar, sharih, bayyin dan definitif, antara lain:

"Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah satu sho' dan korma atau satu sho’ dari gandum atas hamba dan orang merdeka laki-laki dan perempuan, yang kecil dan yang besar dariMuslimin, dan Nabi perintahkan supaya diberikan sebelum orang keluar shalat Ied.”

“Dari Ibnu Abbas ra berkata: Telah diwajibkan oleh Nabi saw zakat fithrah itu sebagai pembersih bagi orang-orang yang berpuasa dari laghwi dan rafats, dan untuk makanan bagi orang-orang orang-orang miskin, maka barangsiapa yang menunaikan sebelum shalat 'led maka zakat itu, zakat fithrah yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikan sesudah shalat Ied maka ia dianggap shadaqah dari beberapa shadaqah biasa (zakat fithrahnya tidak sah)". (HR Ibnu Majah).

Dari kedua hadits di atas sesungguhnya baik dalam makna maupun maksud yang dikandung sebenarnya sudah sangat jelas dan definitif, sama sekali tidak ada nuansa atau kandungan maksud yang bersifat musytarak ataupun majaz. Akan tetapi oleh Abu Toto, terhitung sejak ia menjadi orang pertama dalam struktur NII KW-9 hingga NII Al-Zaytun sekarang dengan tanpa merasa malu, segan dan bersalah, telah melakukan pemutarbalikan terhadap makna dan maksud kedua hadits di atas, dengan cara memasukkan pada dua hadits di atas suatu filosofi analogis sebagai berikut:

"Jika kita membersihkan jasad lahir saja setiap hari dengan sabun dan alat-alat pembersih lainnya, memerlukan sejumlah biaya: Maka mestilah minimal sejumlah itu yang diperlukan membersihkan jiwa kita yang mungkin telah penuh noda selama satu tahun."

Nah, dengan landasan filosofi analogis inilah Abu Toto dan komunitas NII serta ma’had Al-Zaytun berhasil mengubah (memelintir) makna dan maksud hadits yang telah sharih, bayyin dan definitif tentang praktek pelaksanaan zakat al-fithri menjadi hanya terfokus kepada aspek pembersihan dosa sebagaimana yang dimaksudkan filosofi analogis itu.

Pada akhirnya yang terjadi dalam praktek pelaksanaan zakat fithrah dalam komunitas dan santri ma'had Al-Zaytun adalah munculnya pemahaman bahwa zakat fithrah yang benar adalah zakat yang dilakukan berdasarkan kesadaran dan kalkulasi serta semangat membersihkan diri dari dosa-dosa selama setahun. Maka menjadi tak mengherankan bila dalam praktek zakat fithrah yang berlangsung di ma'had Al-Zaytun seperti ajang perlombaan.

Dalam masalah qurban pun hal yang sama juga dijalankan tanpa merasa malu, segan dan takut terbongkar atas aksi pemelintiran bahasa maupun maksud dari pensyari'atan qurban tersebut. Dalam artikel yang dimuat majalah Al-Zaytun yang dikutip di bawah ini para pembaca dapat mengikuti dan mempelajari bagaimana komunitas Al-Zaytun melancarkan pelintiran maksud terhadap sesuatu data sejarah yang sudah mu'tabar, sharih, bayyin, definitif dan pasti.

Demikian pula halnya dengan praktek pengelolaan atau pendistribusian hasil pemungutan zakat maupun qurban. Abu Toto, NII KW-9 atau NII Al-Zaytun menciptakan pemahaman baru dengan menetapkan bahwa seluruh hasil penerimaan dari pemungutan zakat fithri dan qurban tidak harus didistribusikan kepada para masakin, bahkan dalam pemahaman dan keyakinan Abu Toto, NII KW-9 dan NII Al-Zaytun sekarang ini pendistribusian yang tepat dan benar adalah untuk membangun sarana pendidikan umat Islam serta untuk kepentingan Daulah.

Praktek pemungutan dan penetapan nilai zakat fithrah maupun qurban yang sesat dan menyesatkan itulah yang justru diyakini dan dipahamkan sebagai doktrin yang benar dalam mengelola dan mendistribusikan sumber-sumber dana yang disyari'atkan Allah secara tepat, efektif dan efisien. Celakanya kesesatan dan penyimpangan itu justru dinisbatkan pada suatu kebohongan yang disandarkan pernah terjadi dan dilaksanakan pada zaman Rasulullah SAW. Kebijakan yang semakna dengan masalah ini sebenarnya sudah dilakukan Abu Toto dalam bentuk qoror sejak tahun 1992.

Selain itu kebijakan lain yang juga dianggap dan diberlakukan sebagai layaknya hukum syari'at, adalah istilah istimrar (keberlanjutan) baik yang berkenaan dengan zakat fithrah maupun ketentuan yang berhubungan dengan masalah dan sebagai sumber-sumber dana lainnya. Seperti adanya praktek istimrar harakah ramadlan (zakat fithrah) yang apabila seorang muzaki wajib pada waktu wajib bayar tidak atau belum memiliki dana yang cukup sesuai dengan yang ditentukan, maka ia dikenakan nafaqah istimrar (wajib mencicilnya) hingga lunas sesuai dengan yang telah ditentukan. Oleh karenanya nafaqah istimrar ini pada akhirnya dilaksanakan sebagai angsuran wajib yang harus dibayar oleh seorang warga NII, yang itemnya tergantung pada sejauh mana seseorang itu belum mampu melunasi kewajibannya terhadap Daulah.

Penggunaan bahasa dan istilah Islam atau hukum syari'at oleh Abu Toto dan NII KW-9 hingga NII Al-Zaytun sekarang ini memang tetap diperlukan dan tetap dipakai, namun harus membuang ruhnya. Artinya, faham, maksud dan segala konsekuensi logis yang terkandung dalam bahasa atau kaidah syari'at Islam yang definitif dan baku tersebut itulah yang dinafikan atau diganti menurut versi mereka. Itulah Abu Toto yang mendekati dan bersentuhan dengan Islam, tidak menggunakan sikap amanah dan kejujuran, iman serta kesadaran sebagai hamba dan makhluq-Nya, akan tetapi Abu Toto mendekati dan berinteraksi dengan Islam justru menggunakan nafsu dan kesadarannya sebagai manusia, dan sekali lagi bukan sebagai hamba-Nya.

Sebagai bukti adanya kesamaan antara Abu Toto (nama yang dahulu dipakai di NII KW-9) dengan AS Panji Gumilang (yang sekarang menjadi Syaikh Al-Ma'had Al-Zaytun), yaitu kesamaan pada statemen serta faham yang dianut dalam melakukan perubahan terhadap ruh disyari'atkannya zakat fithrah. Dalam Majalah bulanan Al-Zaytun edisi III Maret tahun 2000, yang diterbitkan Ma’had Al-Zaytun, antara lain dinyatakan: “… Secara individu zakat fithrah dan berqurban adalah sarana pembersihan diri dan pendekatan diri kepada sang Pencipta Allah SWT. Secara sosial zakat fithrah dan berqurban adalah sarana untuk mensejahterakan umat bahkan pada zaman Nabi Muhammad dana zakat fithrah dan qurban yang terkumpul telah sanggup menguatkan dan mebesarkan Negara Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah…”[14]

Masih dari sumber yang sama, ditemukan pernyataan sebagai berikut: “Pada kesempatan ‘Ied al Fithri kali yang pertama di awal Januari tahun 2000, Ma’had Al-Zaytun telah mengawali langkah yang tepat sekaligus berani, untuk mengelola sumber dana dalam Islam, yakni dengan mengaktualkan nilai zakat fithrah, ini dilakukan bukan untuk mencari sensasi, tapi semata-mata untuk meningkatkan kualitas umat. Zakat fithrah tidak lagi dihargai dengan 3,5 liter beras. Karena dosa setahun sudah tidak wajar lagi dibersihkan dengan 3,5 liter beras, dan sangat ironis jika hanya dengan 3,5 liter beras kita bercita-cita untuk mensejahterakan umat…”[15]

Sikap dan pandangan serta praktek zakat fithrah yang menyimpang sebagaimana di atas yang diterapkan pada para santri Al-Zaytun, tetap berjalan dan bahkan semakin parah pada Ramadlan tahun ini. Sebagaimana yang dilansir sebuah media antara lain: “Sumber dana lain yang bakal dipergunakan untuk pengembangan pesantren antara lain zakat fithrah. Zakat yang lazim ditunaikan umat Islam menjelang Iedul Fithri. Selain itu, pimpinan Ma'had Al-Zaytun sempat mengumumkan kepada 3.200 santri tentang jumlah pembayar zakat fithrah terbesar yang dilakukan seorang santri dari Nusa Tenggara Timur sebesar Rp 1 juta, pembayar zakat fithrah terbesar kedua diraih oleh santri asal Gorontalo senilai Rp 500 ribu, demikian juga diumumkan pembayar zakat fithrah terkecil sebesar Rp 10 ribu"[16]

Sedangkan menurut pemberitaan media Al-Zaytun sendiri malah menggambarkan keberhasilan yang fantastis dari gerakan Ramadlan yang mampu menghasilkan pemasukan uang sebanyak 5 miliar rupiah lebih.

Eksploitasi (pemerasan) maupun eksplorasi (penggalian) dana dan program pemiskinan umat Islam (korban jeratan rekrutmen) dengan mengatasnamakan zakat, tazkiyah baitiyah, shadaqah tathawwu’, infaq sabilillah, khijanah tajwidiyah, qiradl,shadaqah (jauka dan isti'dzan, nikah, tahkim, musyahadah dan tartib) maupun Kaffarat dan lain sebagainya telah mencerminkan adanya motif manipulasi/penipuan yang sangat merugikan dan akhirnya meresahkan umat serta merusak kesucian dan keluhuran ajaran Islam. Motif politik yang bisa diprediksi adalah untuk membuat rakyat menjadi fobia dan trauma terhadap umat Islam. Sehingga, pada suatu saat nanti ketika perjalanan da'wah dan politik umat ke arah persiapan menuju strukturalisasi Islam, yang dipastikan sangat membutuhkan paitisipasi aktif secara ekonomi dan lahir bathin dari umat Islam, tidak didukung oleh rakyat yang fobia dan trauma tadi.

Pengorbanan para korban KW-9 Abu Toto Abdus Salam Panji Gumilang melalui program dan qoror-qoror-nya, sangat luar biasa habis-habisan secara lahir dan bathin. Rumah, harta benda, perniagaan, pekerjaan, kemampuan intelektual diserahkan total kepada lembaga jama'ah NII. Yang tersisa hanyalah kemiskinan dan kebodohan serta kebingungan. Di antara para korban NII Abu Toto, ada yang terkena jerat program qiradl dan tabungan, sampai sebanyak 250 gram emas, bahkan salah seorang pejabat Bank Indonesia (kini mantan) sampai rela menyerahkan 2,5 kg emas. Dua orang puteranya pun sempat pula menjadi perampok, yang karenanya mereka harus merelakan tulang iganya putus lantaran menyelamatkan diri dari kejaran massa, hanya karena mengejar target setoran yang harus segera dibayarkan kepada NII (Negara Impian Iblis) pimpinan Abu Toto.

Bila kalkulasi dilakukan atas seluruh program pemiskinan NII KW-9 Abu Toto terhadap umat NII, sejak para korban masuk dan dimusyahadahkan hingga mereka sampai bosan, sadar dan lantas keluar, tentu akan mendapatkan jumlah yang fantastis.
D. Berbagai Istilah Eksplorasi Dana Jama’ah
Kalkulasi di bawah ini berdasarkan perkiraan jumlah minimal yang konstan dan aktif sebagai anggota NII KW-9 dari tahun 1993 s/d 2000 sebanyak 60.000 orang. Banyak keterangan dari para mantan anggota NII KW-9 mengatakan jumlah anggota NII KW-9 sekarang lebih dari 100.000 orang.[17] Namun karena diperkirakan terjadi banyak yang keluar atau masuk, maka digunakan angka patokan 60.000 orang saja.
 
01. Shadaqah Musyahadah[18] (shadaqah yang diambil di saat melaksanakan bai’at untuk pembersihan jiwa): Rp 1.000.000 X 60.000 = Rp 60.000.000.000
02. Harakat Ramadlan (nama atau istilah lain dari Zakat Fithrah): Rp 50.000 X 60.000 X 6 = Rp 18.000.000.000
03. Tazkiyah Baitiyah (zakat mal yang dikeluarkan dengan ketentuan 2,5% dari seluruh harta yang dimiliki tanpa melihat jenis maupun perhitungan nisab): rata-rata
Rp 250.000 X 30.000 X 5 = Rp 375.000.000.000
04. Harakat Qiradl (pinjaman wajib oleh Negara kepada warga negara berbentuk emas, rata-rata 100gr): Rp 5.000.000 X 60.000 = Rp 300.000.000.000
05. Nafaqah Daulah (infaq sebagai bentuk kecintaan warga terhadap NII): rata-rata Rp 50.000 X 60.000 X 12 X 6 = Rp 216.200.000.000
06. Harakat Iddikhor: Rp 10.000 X 60.000 X 12 X 6 = Rp 43.200.000.000
07. Shadaqah Tartib (shadaqah yang harus diberikan kepada Negara ketika dilaksanakan pelantikan jabatan atas warga, makin tinggi jabatan makin besar shadaqahnya): rata-rata Rp 1.000.000 X 5.000 X 6 = Rp 30.000.000.000
08. Harakat Qurban (nama atau istilah lain dari wajib qurban pada ‘Iedul Adha): rata-rata Rp 200.000 X 60.000 X 6 = Rp 72.000.000.000
09. Shadaqah Munakahat (shadaqah yang harus diberikan kepada Negara atas kesaksian dan pelaksanaan pernikahan yang diselenggarakan oleh Negara): rata-rata Rp 2.000.000 X 1.000 X 6 = Rp 12.000.000.000
10. Infaq Tarbiyah/Shadaqah Kas (shadaqah yang dikhususkan untuk pembelian tanah waqaf): Rp 2.000.000 X Rp 60.000 = Rp 120.000.000.000
11. Shadaqah Jauka (shadaqah wajib untuk pengajuan surat istighfar atau shadaqah 58:12) Rp 30.000 X 60.000 X 6 = Rp 10.800.000.000
12. Shadaqah isti’dzan (shadaqah untuk pengajuan keluar dari teritori KW-9 dalam rangka pergi mudik ataupun keperluan lain/dagang): Rp 30.000 X 60.000 X 6 = Rp 10.800.000.000
13. Shadaqah Kaffarat (shadaqah yang diambil karena kesalahan atau kelalaian aparat): Rp 100.000 X 60.000 X 6 = Rp 36.000.000.000
14. Shadaqah Tahkim (shadaqah yang diambil untuk keperluan sidang): Rp 100.000 X 2.000 X 6 = Rp 1.200.000.000
15. Shadaqah Masjid Rahmatan: Rp 1.000.000 X 60.000 = Rp 60.000.000.000
16. Lain-lain: Rp 100.000 X 60.000 X 6 = Rp 36.000.000.000
Total …………..……………………. Rp 1.401.200.000.000 (Satu triliun empat ratus satu milyar dua ratus juta rupiah)


Itulah paling sedikit dana ummat yang disedot oleh NII struktur Abu Toto yang kemudian diwujudkan dalam bentuk bangunan Al-Zaytun yang konon menelan biaya sampai sekitar Rp 4 triliun. Sumber dana lain berupa sumbangan dari berbagai negara, konglomerat dan mungkin dari keluarga Cendana maupun pejabat masa Orba.

Menurut penuturan salah seorang mantan pengikut Abu Toto yang sempat dipercaya memegang posisi Majelis Hai’ah (semacam Departemen Keuangan) yaitu Bapak Andreas (Isma’il Subardja), dana abadi yang berhasil dihimpun KW-9 hingga akhir 1996 mencapai Rp 40 miliar. Seluruh dana yang ada pada KW-9 dimasukkan ke dalam rekening pada Bank CIC atas nama Abu Ma’ariq alias Abu Toto Abdus Salam (AS Panji Gumilang) dan keluarganya.[19]

Dari total dana tersebut, sebagian dialokasikan untuk Mukafaah Ihsanul Mas’ul, semacam gaji bulanan bagi para mas’ul, dari yang terendah (tingkat Musa) hingga Adah Djaelani yang diposisikan sebagai penasehat, walaupun nantinya pasti akan dipotong lagi secara langsung untuk infaq bulanan yang besarnya berlainan.

Sebagai contoh, seorang Mas’ul tingkat daerah digaji sebesar Rp 800.000. Namun setelah dipotong ini dan itu untuk Nafaqah Daulah (Madinah), Harakat Ramadlan, Harakat Qurban dan Iddikhor, maka yang tersisa dan bisa dibawa pulang ke rumah tinggal Rp 200.000. Itu pun tidak semuanya dalam bentuk uang, karena ada kewajiban berbelanja di Koperasi NII Khijanah Tajwidiyah senilai Rp 80.000 untuk beberapa bahan pangan seperti 20 kg beras, 2 kg gula pasir dan 2 kg minyak goreng. Pekerja kasar yang bekerja untuk Al-Zaytun yang jumlahnya mencapai 1.000 orang setiap bulannya. Namun setelah dipotong infaq, hutang dan tabungan, tersisa Rp 50.000 saja.

Toto Salam (Syaikh AS Panji Gumilang) menyadari, cepat atau lambat pengikutnya akan sadar atas kekejaman-kekejaman yang selama ini mereka terima, bahkan keluar dan berhenti setelah tak mampu lagi memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan. Hal ini sudah diantisipasinya: “… yang belum tahu dan tidak sadar serta bisa dijadikan sasaran ‘dakwah’ NII masih banyak, selain itu peluang dan kesempatan untuk melakukannya masih sangat luas dan mudah…”
E. Distorsi dalam Doktrin dan Penalaran Komunitas NII
Doktrin dan kiprah gerakan komunitas NII sesungguhnya adalah akibat terjebak oleh pemahaman yang ter-distorsi, yang melanda kalangan NII Kartosoewirjo maupun NII faksi mana saja, namun lebih khusus NII Al-Zaytun. Juga, melanda mereka yang gemar melancarkan klaim maupun obsesi pembicaraan tentang khilafah. Ternyata, pada distorsi yang terjadi tersebut ditemukan adanya indikasi gerakan terprogram, yang berarti juga merupakan unsur kesengajaan untuk mendegradasikan dimensi dan makna yang sesungguhnya tentang Iman, Hijrah, Jihad, Bai’ah dan Daulah-Khilafah.

Kita bisa mengenali indikasi doktrin NII ada pada diri seseorang dari cara, langgam dan pilihan materi dakwahnya. Salah satu diantara materi unggulan dalam dakwah NII adalah membahas materi-materi yang bertema Iman, Hijrah dan Jihad secara sangat bersemangat dan berapi-api, namun selanjutnya mengalami distorsi makna.
1. Distorsi Iman
Definisi Iman oleh Komunitas NII dijelaskan melalui cara-cara pendegradasian makna, ini akibat dari pemahaman aqidah yang juga difahami secara sesat dan menyimpang melalui tiga prinsip dasar Tauhid: Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah.

Prinsip-prinsip dasar Iman yang lazim seperti rukun dan cabang Iman memang sama sekali tidak ditolak ataupun dinafikan oleh mereka. Akan tetapi ketika dalam visi gerakan prinsip dasar tadi secara tidak disadari berubah, terabaikan bahkan sama sekali tidak dipandang alias dinafikan. Juga, manakala komunitas NII (dari faksi manapun) sedang menggunakan sudut pandang struktur tandzhimiyah (kelembagaan) NII sebagai latar atau dasar kehujjahan dalam berargumentasi serta menggunakan nalar di dalam menjelaskan prinsip-prinsip Iman.

Kelemahan fundamental komunitas NII adalah terletak pada semangat bebas ketika memahami dan mendalami Al-Qur'an. Selain itu, menjadikan Al-Qur’an sebagai pembenar suatu konsep yang mereka ingin terapkan. Seperti konsep Tauhid Mulkiyah NII yang diyakini benar dan absah karena menurut mereka Allah menyatakannya dalam surah An-Nas ayat 1-3. Kemudian, tanpa mendasarkan kepada disiplin ilmu tafsir maupun ilmu ushuluddin (aqidah) serta penjelasan Rasul SAW dan para sahabat, kalangan NII memahami dan menyimpulkan ayat tersebut secara sepihak bahkan mendudukkan penafsirannya itu sebagai sesuatu yang aksiomatik.

Selebihnya hal ini mungkin lebih disebabkan oleh adanya satu pemahaman dan perasaan bahwa struktur organisasi gerakan NII yang dirintis, diperjuangkan dan diproklamasikan Kartosoewirjo 7 Agustus tahun 1949, dan kemudian dengan apa yang telah berlanjut sampai sekarang ini, adalah satu-satunya representasi yang tepat dan absah dalam menerima, memahami serta melaksanakan al-Islam secara berjama’ah sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Hal ini disandarkan pada suatu keyakinan atau doktrin yang terus dilestarikan oleh para pengikut atau warga NII sekarang ini. Sebagaimana tercermin melalui kutipan di bawah ini:

“Sepanjang sejarah perjalanan ummat Islam, setelah Rasulullah SAW dan Khulafa ur Rasyidin wafat, tidak ada satu orang pemimpin yang mampu membangun sebuah negara Islam yang berdaulat, selain Kartosoewiryo…”

Inilah contoh Sindroma Legitimasi Daulah Islamiyah yang diidap para Kartosoewirjois, sekaligus merupakan distorsi sejarah yang diciptakan Kartosoewirjo dan kaum Kartosoewirjois yang akhirnya membawa Kartosoewirjo dan segenap pelanjut serta pengagumnya hingga Abu Toto memiliki keyakinan yang kuat bahwa merekalah pihak yang lebih berhak untuk memegang legitimasi syar’i atas kepemimpinan dan kekhalifahan ummat dengan segala konsekuensi yang menyertainya.

Dari sindroma itulah terjadi awal pergeseran atau penyimpangan dan kesesatan, karena dengan adanya sndroma itu, yang akhirnya dijadikan sebagai parameter dan paradigma di dalam memandang, mensikapi dan memperlakukan pihak muslim yang berada di luar komunitas dan keyakinan mereka. Dalam pengertian bahasa yang mudah dan sederhana, adanya sikap yang dianggap absah oleh komunitas NII bahwa mereka bisa, boleh dan berhak merasa dan mengaku memiliki kebenaran.

Apalagi jika secara lebih jauh distorsi keyakinan itu malah memunculkan premis yang sangat rancu sebagaimana yang menjadi doktrin atau pemahaman sebagaimana kutipan di bawah ini:

“Apa yang dilakukan Kartosoewirjo dalam konteks memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia dan dia sendiri yang menjadi Imam (khalifahnya) adalah sesuatu yang wajar dan sah-sah saja, karena sesungguhnya imam (khalifah) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pemberian jabatan imamah (kepemimpinan) kepada orang yang mampu menjalankan tugas-tugas di atas pada ummat adalah wajib berdasarkan ijma’ (konsensus ulama’).”

“Sekelompok orang berpendapat, bahwa pengangkatan Imam (khalifah) hukumnya wajib berdasarkan akal, sebab watak orang-orang yang berakal mempunyai kecenderungan untuk tunduk kepada imam (khalifah yang melindungi mereka dari segala ketidakadilan, memutuskan konflik dan permusuhan yang terjadi diantara mereka. Tanpa Imam (khalifah) manusia berada pada keadaan chaos, dan menjadi manusia-manusia yang tak diperhitungkan oleh bangsa lain.”

“Kelompok lain berkata, bahwa pengangkatan imam (khalifah) hukumnya wajib berdasarkan syari’at, bukan berdasarkan akal. Sebab Imam (khalifah) itu bertugas mengurusi urusan-urusan agama, dan bisa jadi akal tidak mengkategorikan Imamah (kepemimpinan) sebagai ibadah, kemudian tidak mewajibkan Imamah tersebut. Akal hanya menghendaki setiap orang dari orang-orang yang berakal melindungi dirinya dari segala bentuk ketidakadilan dan pemutusan hubungan. Serta bertindak adil dalam pelayanan dan komunikasi, kemudian ia bertindak dengan akalnya sendiri dan bukan dengan akal orang lain.”

“Namun syari’at menghendaki bahwa segala persoalan itu harus diserahkan kepada pihak yang berwenang dalam agama. Jika Imamah (kepemimpinan) telah diketahui sebagai hal yang wajib menurut syari’at maka status wajibnya Imamah (kepemimpinan) adalah fardlu kifayah seperti jihad dan mencari ilmu. Artinya jika Imamah (kepemimpinan) telah dijalankan oleh orang-orang yang berhak menjalankannya, maka Imamah (kepemimpinan) telah gugur dari orang lain. Orang yang bertempat tinggal di daerah imam (khalifah) tidak mempunyai kelebihan atas orang lain yang ada di daerah-daerah. Namun orang yang ada di daerah imam secara otomatis bertugas mengangkat imam (khalifah) menurut adat (tradisi) dan bukan menurut syari’at, sebab mereka lebih dahulu mengetahui kematian imam (khalifah), dan karena biasanya orang yang berhak menduduki jabatan khalifah ada di daerah tersebut.”

Premis-premis semacam itu semakin berkembang di kalangan para pelanjut NII, seperti adanya suatu statement “wujuduhu kaadamihi” yang diartikan: “Eksistensi Negara Islam Indonesia yang sejak awal memang tidak ada diyakini sebagai hal yang harus diakui sebagai ada serta diterima keberadaannya, sedang wujud keruntuhan dan kehancuran NII justru malah diyakini sebagai perwujudan dari tegak dan kokohnya NII.”

Makna negara pun sudah bergeser menjadi berhala dan sebagaimana layaknya Rabb (Tuhan) yang wajib diimani. Seakan-akan wujud Negara Islam Indonesia itu adalah sesuatu yang kekal dan abadi, bahkan di antara mereka pun ada yang menyatakan Imam Kartosoewirjo bisa dan boleh salah, namun Negara tidak akan pernah salah. Negara Islam Indonesia tidak bisa gugur atau batal wujud, sifat maupun kaifiatnya sekali pun seandainya Imam Kartosoewirjo boleh dan bisa batal lantaran kesalahannya.

Sindroma pemberhalaan Negara sendiri belum pernah terjadi dan belum dikenal dalam masyarakat muslim manapun, kecuali setelah banyak diantara ummat muslim yang menjadi sekuler dan terkotak-kotak. Pada akhirnya komunitas NII tidak merasa malu dan segan untuk menjadikan paradigma politik dan kehidupan sekularistik yang ada dalam ummah, seperti perjuangan berdirinya negara Palestina, kasus aneksasi negeri Kuwait oleh Saddam Hussen dijadikan sebagai contoh aktual dan faktual untuk bahan argumentasi dan paradigma maupun dalil bagi pemahamannya terhadap konsep Negara yang sangat distortif, seperti menyebutnya sebagai Negara dalam Kondisi Berjuang, Negara dalam Pengasingan, Negara Basis dan lain sebagainya.

Padahal Negara Islam yang dibangun Rasul SAW, dikembangkan dan dilestarikan oleh Khulafaar Rasyidin yang benar-benar diberkahi Allah, ketika eksistensi khilafah ‘ala minhajin Nubuwwah itu runtuh dan berakhir, masyarakat Islam yang ada di masa itu tidak ada satu pun yang memiliki distorsi pemahaman dan lantas menjadi penderita sindrom Khilafah atau Daulah sebagaimana yang menjangkiti komunitas NII sekarang ini. Kecuali khusus komunitas Umayyah dan Abbasiyyah serta Otsmaniyyah, namun tiga penguasa ini pun oleh komunitas NII telah diingkari dan dikecamnya.

Suatu fenomena yang sangat rancu, absurd dan hipokrit, yang eksis dalam komunitas NII, yang ternyata lebih cenderung mempertahankan mati-matian serta berupaya melestarikan eksistensi seorang Kartosoewirjoi berikut proklamasi berdirinya Negara serta basis Negara Islam Indonesia sekalipun hakekatnya nisbi dan semu (wujuduhu ka’adamihi) Keyakinan seperti ini pun sesungguhnya disandarkan pada logika yang sempit, rancu, absurd dan hipokrit karena mereka meyakini hal tersebut telah sesuai dan merujuk kepada QS 3:144 sebagai berikut:

“Dan tidaklah Muhammad itu melainkan hanya seorang Rasul, telah berlalu sebelumnya Rasul-rasul. Apakah bila seandainya Muhammad itu mati atau ia terbunuh lantas kamu sekalian akan berpaling kebelakang (murtad)……”

Dalam doktrin NII ayat ini dijadikan sebagai dasar pengertian dan qiyas tentang abadinya eksistensi negara dan kerasulan dalam kehidupan ummat Islam. Bagi NII logika eksistensi negara diqiyaskan pada ibarat eksistensi lembaga de facto & de jure sebuah kelurahan, dengan sebuah pertanyaan: Apakah apabila seorang lurah mati lantas lembaga kelurahannya berarti otomatis bubar? Demikian pula halnya terhadap ihwal negara, apakah bila Kartosoewirjo mati lantas Negara Islam Indonesia otomatis bubar? Apalagi ketika dalam sidang pengadilan Mahadper (Mahkamah Darurat Perang) Imam Kartosoewirjo terang-terang menolak untuk mencabut proklamasi NII dan sebelum dieksekusi mati oleh rezim thaghut Soekarno Imam Kartosoewirjo tetap tidak bersedia mencabut proklamasi NII.

Logika sesat yang lain adalah pernyataan tentang terjadinya tindak kejahatan, kesesatan atau kesalahan dalam penyelenggaraan negara adalah suatu kewajaran, sekalipun hal itu dilakukan oleh para pemimpin atau pendirinya, karenanya sifat dan eksistensi negara selamanya akan dan harus tetap ada. Dengan mendasarkan pada contoh kenyataan bahwa di masa Nabi SAW terdapat banyak orang yang jahat dan salah, demikian pula di masa Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali sangat banyak sekali orang yang sesat, jahat dan salah di masa itu, akan tetapi keberadaan orang-orang yang salah, sesat dan jahat itu tidak lantas menggugurkan adanya eksistensi negara. Inilah wujud dan bentuk konkret distorsi, penistaan dan penodaan yang sangat keji serta tindakan penjungkirbalikan fakta yang dilakukan secara sadar tetapi rancu oleh kalangan NII tentang konsep negara (Daulah wal Khilafah).

Padahal di masa Rasul SAW dan Khulafaar Rasyidin tidak pernah terdapat riwayat baik dalam hadits maupun sierah yang menceritakan terdapat orang-orang yang salah, ahli ma’shiyat ataupun tersesat menjadi penyelenggara atau aparatnya, apalagi sebagai pucuk pimpinannya. Akan tetapi para ahli ahwa’, ahlul firaq dan ahlul bid’ah itu keseluruhannya hanyalah sebagai warga biasa semata, bahkan sama sekali tidak ada yang sedang menjadi hukama’ atau zu’ama’.

Bagi orang beriman, berpegang secara konsisten kepada eksistensi nilai dan prinsip serta tuntunan Nabi SAW beserta para Khalifahnya yang konkret prestasinya serta mendapat legitimasi langsung dari Allah, adalah suatu keniscayaan bahkan keharusan. Dan inilah faktor penting yang mengikat secara mutlak (absolut) seluruh ummat Islam tanpa terkecuali agar menerima, mempertahankan serta menerapkannya. Itulah yang sebenarnya menjadi tanggung jawab dan kewajiban setiap muslim, dan bukannya seperti perilaku komunitas NII yang sikap dan keyakinannya hanya mau terikat kepada NII dan Kartosoewirjo belaka.

Realitas kondisi seperti ini hahekatnya telah mendekati pada bunyi hadits Rasul SAW yang menggambarkan berbagai kejadian yang kelak muncul dalam ummah, di antaranya adalah:

“Dari Hudzaifah, para sahabat Rasul SAW bertanya tentang kebaikan dan tentang keburukan maka aku pun berkata: Ya Rasulullah, adakah sesudah kebaikan ini akan terjadi keburukan, seperti kondisi keburukan yang terjadi sebelumnya? Rasulullah SAW menjawab, betul. Aku pun berkata: lantas apakah bisa selamat dari keburukan itu? Rasul SAW menjawab: pedang yang lebih cukup. Aku bertanya lagi: kemudian ada apa? Rasul menjawab: kemudian terjadinya kondisi rasa tenteram terhadap sikap buruk akhlaq. Aku berkata: kemudian kenapa? Rasul SAW menjawab: lalu terjadilah (masa) munculnya para da’i yang menyesatkan”. (Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 5:402)

Munculnya para da’i yang sesat dan menyesatkan sangat memungkinkan terjadinya disfungsi dan disorientasi dalam fiqh maupun dalam aqidah, yang akibatnya sangat fatal, yaitu ketika fiqh dijadikan aqidah dan aqidah dijadikan ilmu pengetahuan. Itulah masa-masa rancu dan absurdnya konsentrasi ummat yang memaksakan antara pemikiran bebas dan obsesi nafsu ketika membahas masalah fiqhus siyasah, Imamah-Kepemimpinan dan Khilafah, Jama’ah, Imarah dan Bai’at dalam situasi dan kondisi keimanan yang belum mapan.

Saya kira sangat tidak pantas komunitas atau kalangan NII untuk menyebut diri mereka sebagai Mu’min dan Mujahidin bila dalam kenyataannya aqidah dan keyakinan serta pendirian faham mereka sangat menyimpang dan bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip iman yang lazim dan baku. Mereka dengan sangat entengnya menyebutkan bahwa kekhalifahan Kartosoewirjo itu sebenarnya sah-sah saja, karena pada dasarnya setiap orang itu dijadikan Allah sebagai Khalifah fil Ardl, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa surah Al-Qur’an.

Inilah wujud dan bentuk absurditas dan kerancuan fiqh siyasah (fiqh politik) dan intelektualias maupun daya nalar kalangan NII masa kini tentang Imam, Kepemimpinan dan Khilafah yang sangat distortif, tanpa referensi, parameter maupun paradigma Islam yang absah, tetapi hanya didasarkan pada kata dan cerita (ilustrasi) dari buku Imam Al Mawardi. Akhirnya mereka pun gagal dan terjebak pada disfungsi dan disorientasi dalam memahami makna maupun esensi antara Imamah, Kepemimpinan dengan ke-Khalifahan yang masing-masing sebenarnya memiliki perbedaan disiplin, strata kondisi dan situasi maupun persyaratan atau spesifikasi. Sehingga parameter dan paradigma Iman, Islam maupun Ihsan tidak lagi didasarkan pada dasar-dasar nash wahyu maupun nubuwwah dan atsar sahabat radliyallahu anhum, tetapi dicukupkan kepada apa yang terdapat pada komunitas serta angan-angan mereka sendiri.

Kitapun akhirnya mendapati adanya praktek pendefinisian Iman maupun Ilmu yang rancu dan nyeleneh serta menyimpang berlangsung terus dan nyaris rapi-seragam itu, terdapat dalam komunitas NII, yang bila dibahasakan adalah, seseorang belum dan tidak dipandang absah dan sempurna iman, islam, ihsan maupun intektualitasnya sebelum menerima atau mengakui dan menyatukan diri bergabung kepada eksistensi struktur lembaga gerakan NII dengan prosedur yang telah ditentukan antara lain dinyatakan dalam wujud kesediaan Bai’at (Musyahadatul Hijrah) sebanyak tujuh macam bai’at. Tidak jarang komunitas NII secara ekstrem menafikan keshalihan seseorang dan bahkan tetap menganggap kafir terhadap pihak-pihak yang menolak dan berada di luar struktur kelembagaan gerakan NII.

Iman versi KW-9 Abu Toto identik dengan sikap (merujuk persis dengan QS 3:191, “Yaitu orang-orang senantiasa mengingat Allah ketika berdiri, duduk dan berbaring…”dst), namun hal tersebut dipraktekkan dalam aktivitas menyusun program-program lembaga dalam rangka menegakkan Negara Islam dan berdirinya Ma’had Al-Zaytun, yang diyakini sebagai refleksi keimanan yang nyata serta merupakan perwujudan dzikrullah yang bersifat abadi.

2. Distorsi Hijrah
Dalam permasalahan makna hijrah secara otomatis terpengaruh pula oleh stigma dan sindroma NII, sehingga degradasi makna hijrah pun berlangsung secara serentak dengan kerancuan yang telah terjadi. Antara simbol hijrah maknawiyah (kesadaran menghamba kepada Allah secara ikhlash dan penuh ketaqwaan) dengan hijrah makaniyah (karena telah terwujudnya wilayah teritori Islam yang berdaulat dan mandiri) menjadi kabur dan serba tidak jelas. Doktrin hijrah justru diacu hanya kepada simbol-simbol NII yang sama sekali tidak memiliki nilai dan eksistensi serta kehujjahan aqidah (i’tiqadi) maupun syar’i yang argumentatif.

Diantaranya seperti bentuk kebohongan yang selalu diceritakan berulang-ulang, bahwa sesungguhnya telah ada Darul Islam (Negara Islam) sebagai basis Madinah di Indonesia lengkap dengan seluruh atribut seperti layaknya sebuah negara dan pemerintahan, mulai dari pembagian wilayah sampai dengan aparatnya, telah berlakunya syari’at dan mahkamah Islam yang diwujudkan dalam bentuk juklaknya melalui qoror-qoror (di masa H Abdul Karim Hasan, M. Rais Ahmad dan Abu Toto melalui NII KW-9 dan berlanjut sampai sekarang) atau maklumat-maklumat (Maklumat Komandemen Tertinggi - MKT) di masa Kartosoewirjo.

Pada gilirannya, penekanan makna hijrah bukan lagi difokuskan kepada apa yang disimbolikkan oleh Islam dan yang dipraktekkan oleh Rasul SAW serta para sahabatnya, tetapi lebih ditekankan pada kesediaan untuk melepaskan identitas kewarganegaraan RI yang dianggap kafir-jahiliyyah dan kesediaan untuk menjadi warga negara Madinah NII yang digambarkan sebagaimana layaknya Madinatul Munawwarah di masa Rasul SAW dan Khulafaar Rasyidin yang penuh Maghfirah, Rahmah, Berkah dan Keridlaan-Nya. Kita pun lantas bertanya, kalaulah dalam NII itu diyakinkan telah ada Madinah dan mewajibkan hijrah kepada setiap muslim di luar komunitas NII, lantas yang menjadi kaum Anshar-nya siapa dan mereka itu ada di mana? Kenapa para Anshar ahlul Madinah itu program kerjanya malah meminta tolong serta dukungan dari para Muhajirin, padahal dalam sejarah atau tarikh yang kita kenal kalangan Anshar adalah orang-orang yang luar biasa pemurah maupun kasih sayangnya terhadap kaum Muhajirin.

Dalam indoktrinasi NII tentang materi hijrah memang sepenuhnya mengambil dari sierah Nabi SAW, namun setelah itu dipelintir untuk diarahkan demi kepentingan meyakinkan para mad’u (objek da’wah) agar bersemangat dan tergerak untuk menjalankan napak-tilas sunnah Rasul SAW tersebut, tetapi dicukupkan hanya pada struktur Madinah NII dan segala perangkat keaparatannya. Dengan merujuk kepada QS surat 90 ayat 10, “Dan Kami tunjuki kepada manusia itu melalui dua jalan” dengan pemahaman atau penjelasan yang sangat distortif.

Dua jalan yang dimaksud itu adalah adanya wujud dua negara, yang satu negara yang haq (NKA-NII) dan satunya negara bathil (NKRI). Oleh karenanya ummat yang merasa lemah secara sosial-politik dan telah didzhalimi oleh NKRI disadarkan melalui adanya NKA-NII dengan mengutip lagi QS 4: 97: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan mendzhalimi diri mereka sendiri malaikat bertanya, bukankah Allah telah menjadikan bumi itu luas sehingga kamu bisa berhijrah ke sana?”

Maka wajib hijrah itu adalah jalan alternatif yang harus dipilih dan dilakukan. Alternatif itu ada dalam wujud negara yang haq yaitu NII, lantas kenapa harus NII? Karena wujud thariqul jannah, sabilillah dan shirathal mustaqim itu hanya ada di NII semata. Inilah distorsi pemahaman hijrah versi NII KW-9 Abu Toto.

Bahkan meyakinkan dengan sesungguh-sungguhnya kepada para muhajirin Madinah NII, dan setengah memastikan bahwa Allah akan mensucikan dari segala dosa dan kesalahan kepada setiap orang yang hijrah ke dalam struktur NII sebagaimana halnya ketika mereka baru dilahirkan dari rahim ibunya. Dan ujung-ujungnya ditekankan pentingnya bai’at yang menjadi prosedur mengesahkan hijrahnya seseorang dari kewarganegaraan RI kepada kewarganegaraan NII.

Adapun masalah hijrah dalam pemahaman para salafush shaleh tidak pernah bergeser dari makna simbolik maknawiyah dan makaniyah yang definitif, syarat dan syarahnya telah pasti dan baku. Tidak akan kita dapatkan satu pun data dalam pemahaman para salafush-shaleh yang keluar atau berbeda dengan simbol-simbol hijrah yang asli, murni dan baku tersebut. Dan masalah data kewajiban hijrah makaniyah diantaranya adalah merujuk pada hadits Rasul SAW:

“Aku datang kepada nabi saw saat setelah fathul Makkah untuk menyatakan bai’at atas hijrah, maka nabi saw bersabda: Sesungguhnya kewajiban hijrah telah berlalu bagi mereka yang diwajibkan akan tetapi bai’at itu tetap atas Islam, jihad dan dalam kebaikan” (Muslim, bersumber dari al Mujasysyi’)

Sedang dalam riwayat lain Nabi saw menyatakan: “akan tetapi kewajiban hijrah akan tetap ada sepanjang kalian diperangi oleh musuh.”

3. Distorsi Jihad
Definisi jihad dalam Al-Qur’an dan Sunnah telah dijelaskan secara rinci tentang landasan, syarat-syarat, tatacara dan pelaksanaan serta target-target hingga masalah derajat pahala maupun keutamaannya. Dalam doktrin komunitas NII dalil-dalil jihad justru digunakan untuk membakar, memprovokasi ummat dan sekaligus sebagai alat pembenar bagi langkah-langkah politis dan penentangan mereka selama ini terhadap penguasa de facto Republik Indonesia.

Tidak jarang komunitas NII menjadikan sikap penentangan atau perlawanan mereka terhadap penguasa de facto sebagai representasi jihad yang sebenarnya dalam Islam, yang berkonsekuensi hukum terhadap barangsiapa yang tidak setuju ataupun tidak mendukung usaha-usaha jihad mereka dihukumi sebagai munafiqin, fasiq dan jahiliyah. Akan tetapi pada sisi lain komunitas gerakan NII khususnya struktur kepemimpinan Abu Toto melakukan redefinisi terhadap makna yang sesungguhnya dari jihad fi Sabilillah, seperti:

“Karena pada saat ini Negara Islam Indonesia sedang miskin dan masih lemah, maka aksi-aksi jihad diorientasikan kepada usaha-usaha keras dan nyata (mengerahkan seluruh daya dan kemampuan) untuk mengumpulkan dana dan ummat (pendukung) sebanyak-banyaknya serta memperbesar dan memperluas jaringan maupun teritory organisasi kelembagaan NII.”

Oleh karena seluruh upaya memperkuat dan membesarkan serta memberdayakan NII didefinisikan sebagai amal usaha jihad, maka konsekuensi hukum yang berlaku dalam hukum jihad menjadi berlaku pula bagi para mujahid. Seperti menjama’ qashar shalat, tidak wajib jum’at, boleh bertipu-daya, boleh merampas dan boleh-boleh yang lainnya.

Pada akhirnya mereka terjebak dalam sindroma keutamaan jihad, sehingga bila salah seorang di antara mereka ada yang meninggal di dalam jihad, maka mereka pun diperlakukan sebagai syuhada’, jenazahnya tidak perlu dimandikan dst.

Giliran berikutnya, mereka tersesat semakin jauh, karena sindroma keutamaan amal jihad menjadikan mereka mengabaikan dan malah akhirnya meninggalkan kewajiban-kewajiban fardlu tanpa terkecuali, karena amal jihad adalah puncak amal shalih.

4. Distorsi Daulah dan Bai’ah
Daulah dalam sejarah Islam dicapai dan diwujudkan setelah Nabi SAW dan para sahabatnya melalui berbagai tahapan penguasaan (al Isti’abu al Marhalatu min al Da’wah). Deretan target da’wah yang berhasil dilalui Nabi SAW dan sahabat telah menunjukkan tegaknya Daulah Islamiyah bukanlah melalui sim salabim dengan mengeluarkan maklumat atau proklamasi maupun klaim sana klaim sini.

Daulah Islamiyah dibangun Nabi SAW justru melalui pembangunan dan pembinaan yang konkret terhadap ummat, melalui revolusi (merombak) dan merestrukturisasi pemikiran, jiwa maupun mentalitas (ruh dan keyakinan) manusia menjadi hamba yang merdeka, bertanggung jawab, teruji, tangguh, istiqamah terhadap komitmen ubudiyah shalat, dzikir, ta’lim, tilawah dan kedermawanan, al sakha’ wal karam (Al ‘ibadu ar Rahman: Mengabdikan Diri Kepada Allah dan Menjauhi Thaghut Serta Seluruh Dimensi Kedzhaliman), mengangkat harkat dan martabat ummat menjadi egaliter, mengikat ummat dengan kasih sayang melalui ukhuwah Islamiyah dan menyatukan mereka dengan ikatan solidaritas dan jaminan sosial, pertahanan keamanan serta kepemimpinan dalam bentuk piagam (Piagam Nabi atau Piagam Madinah) dan berlanjut sebagai masyarakat yang bernegara serta sebagai bangsa yang besar dan berdaulat, al Jama’ah wal Khilafah.

Demikian pula halnya para sahabat Nabi SAW Khalifah al Rasyidah yang dengan sungguh-sungguh melestarikannya, juga sahabat-sahabat Rasul SAW yang lain seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Handzhalah, Abdullah bin Ja’far, Abdur Rahman bin Abu Bakar, Nu’man bin Basyir dan lain-lain yang lebih mengedepankan terselenggaranya kehidupan yang diberkahi (berlakunya syari’ah, tegaknya akhlaqul karimah dan tetap bersihnya aqidah ummat) melalui tegaknya Imarah atas ummat ketimbang mengatas-namakan Khilafah ataupun Daulah Islamiyah namun kejam dan memaksa serta semu dalam berkah.

Adapun bai’ah (pembai’atan) dalam Islam yang pertama terjadi dan diberlakukan hanya bagi kalangan di luar kalangan muslimin ahlul Makkah, yakni kaum muslimin dari kalangan penduduk Yatsrib (embrio masyarakat muslim Madinah) yang dikenal dengan Bai’ah Aqabah I dan II. Dan bai’ah berikutnya dilakukan setelah 5 tahun kemudian yang dikenal dengan Bai’atu al Ridlwan atau Bai’atu al Syajarah, pada tahun yang sama diberlakukan bai’atu al Nisaa’. Tahun-tahun berikutnya terjadi bai’at kesetiaan dalam segala keadaan (al sam’ah wa al tha’ah ‘ala kulli hal), bai’at hijrah dan jihad bagi kalangan muslim di luar Madinah, kemudian terjadi pembai’atan massal terhadap penduduk Makkah dan Tha’if setelah ditaklukkan, berbai’at dalam urusan Islam, jihad dan kebaikan.

Bai’ah dan pembai’atan tidak pernah terjadi dan dilakukan Nabi SAW atau para sahabat untuk kepentingan membangun basis atau memulai gerakan maupun kekuatan sosial politik dan kepemimpinan. Akan tetapi bai’ah dan pembai’atan yang diwajibkan Rasul SAW dan dilaksanakan para sahabat adalah bai’at kepada khalifah yang terpilih di masa Khulafaur Rasyidin (pemberian legitimasi kepada kepemimpinan ummat yang riel dan islami, memiliki legitimasi syar’i).

Sedangkan bai’atu al ridhwan adalah bai’at kesetiaan terhadap kesatuan ummat (kewajiban pembelaan terhadap sesama muslim yang ditawan atau terbunuh oleh musuh). Karena esensi bai’at adalah merupakan ikatan komitmen langsung yang suci dan sakral antara hamba dengan Rabb-nya, sehingga para sahabat dan setiap mukmin menganggap haram untuk mempolitisirnya, apalagi memiliki niat sengaja untuk melakukan rekayasa politik, menjebak, mengikat serta menakut-nakuti ummat muslim melalui bai’at dan pembai’atan tersebut.

Kesimpulannya, bai’at wajib hanya diberikan (dilakukan) setelah ada atau dzhahirnya al khilafatu ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah al ‘udzhma) jadi bukan diberikan atau dilakukan oleh setiap imam ataupun Imarah maupun setiap pihak yang mengaku sebagai Khalifah.

Sebab, merujuk pada fakta sejarah para sahabat Rasulullah SAW sepeninggal 30 tahun kekhalifahan Abu Bakar ash Shiddiq hingga ‘Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, bai’at dan pembai’atan tidak dilaksanakan oleh mereka. Artinya, para sahabat seperti Husein bin Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Hudzaifah, Nu’man bin Basyir, Abdullah bin Abdur Rahman, ‘Aisyah dan Asma binti Abu Bakar, Safinah Maula Rasul SAW dan yang lainya tidak bersedia memberikan bai’at (pengakuan, pemberian legitimasi) kepada kepemimpinan Mu’awiyah, Yazid, bahkan terhadap Ibnu Zubair sekalipun.

Pembai’atan di zaman kekuasaan bani Umayyah berlangsung berdasarkan pemaksaan, kecuali masa kekuasaan Umar bin Abdul Aziz. Sedangkan pembai’atan yang terjadi di masa Imarah Ibnu Zubair berlangsung secara sukarela, justru untuk mendorong Ibnu Zubair supaya bersedia tampil sebagai pimpinan ummah, saat itu Ibnu Abbas dan Ibnu Umar menurut catatan sejarah malah menarik kembali bai’atnya, namun tetap mendukung dan menyertai Imarah Ibnu Zubair secara sangat dekat dan tanpa rekayasa.

Konsep dan praktek Daulah Islamiyah pada komunitas NII nyata-nyata tidak didasarkan pada dalil dan atsar yang berlaku di masa Nabi SAW serta sahabat, hal itu menandakan kuatnya peran dan dominasi yang determinan dari al Ahwa’ wal Aklaniy dalam kepribadian al Mubtadi’ al Mudlil (Sang Pembaharu yang tersesat) yang dengan nekat dan lancang berani mendakwakan diri sebagai Khalifah Allah, Khalifah Nabi dan Imam atau Panglima Tertinggi yaitu Kartosoewirjo beserta Khilafatu al Mudlillun-nya (para penggantinya yang tersesat pula) yang ada sekarang ini.

Disebut demikian karena Daulah Islamiyah (jargon yang beresensi semu itu) dibangun oleh komunitas NII hanya didasarkan Maklumat[20] lantas Daulah Islamiyah semu itu dilaksanakan dan dipertahankan melalui maklumat pula, namun hal itu diakhiri hanya dengan sebuah fatwa.

Daulah Islamiyah semu itu dihidup-hidupkan kembali oleh para muqallid dan pelanjut kekhilafahan al Mudlillun al Mukadzdzibun (para pengganti kepemimpinan yang tersesat dan pendusta sejak 1960 hingga saat ini). Disebut demikian karena mereka sesungguhnya sangat tahu dan paham bahwa Daulah Islamiyah NII itu sama sekali tidak memiliki basis eksistensial yang jelas alias memang tidak ada, dan itu hanya sekedar sindroma, ide dan obsesi gila para tokoh-tokoh yang mengaku sebagai penerus atau pelestari lembaga gerakan NII tersebut. Namun, karena terus digembar-gemborkan secara kasak-kusuk dan gerilya gethok-tular akhirnya banyak juga yang percaya, setuju dan mau menerima.

Keyakinan sesat seperti ini disandarkan pada konsep doktrin Maklumat yang di dalam komunitas NII didefinisikan sebagai undang-undang dan sekaligus sebagai hukum positif yang berlaku di kalangan mereka. Di kalangan NII Abu Toto, konsep doktrin maklumat diganti dengan istilah baru yaitu Qoror Imam - Komandemen Tertinggi. Ekses sesat dari doktrin ini adalah telah menyebabkan terjadinya pelecehan, distorsi terhadap dalil-dalil (nash) yang qath’iy, hukum-hukum syari’at yang sharih dan tafsir serta fiqh yang shahih, bahkan kesemuanya itu malah didisposisikan sebagai hanya sekedar wacana keilmuan belaka, yang sama sekali tidak menuntut pengamalan alias tidak berlaku di kalangan mereka. Artinya hasil keputusan maklumat atau Qoror Imam adalah yang bersifat dan berkekuatan sebagai hukum terapan. Sedangkan apa saja yang terdapat dalam kitab tafsir, fiqh dan tarikh hanyalah teori keilmuan dan sekedar wacana.

Faktor lain yang membuat komunitas NII bertekad atau memaksakan menjadikan isu Daulah Islamiyah (Negara Islam Indonesia) sebagai isu sentral gerakan dakwahnya adalah karena adanya kondisi objektif basis mereka, karena yang sesungguhnya memang hanya itulah modal bodong mereka satu-satunya untuk melakukan kebohongan, yang paling mungkin bisa dipercaya oleh manusia. Oleh karena itu, doktrin tentang Daulah Islamiyah perlu dikemas sedemikian rupa, dengan mencomot ayat dan hadits serta tarikh di sana-sini, ditambah logika politik dan paradigma apa saja yang bisa digunakan sebagai paradigma, maka akhirnya menjadi sebuah konsep gerakan Islam politik yang seolah reliable, layak digelar dalam bursa politik dan pergerakan, dan yang penting bisa diterima serta laku.

Premis yang lain tentang tujuh tahapan dalam konsep Negara Islam versi NII adalah sebagaimana dimuat Majalah Darul Islam edisi 19 Juli 2001.

Kartosoewirjo telah menggariskan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang merupakan marhalah (tahapan) ketiga. Adapun marhalah keempat adalah wujudnya Daulah Islamiyah Indonesia yang wujudnya 100 persen de facto dan de jure, keluar dan ke dalam, dan ini belum terwujud sampai sekarang. Kemudian marhalah kelima yaitu mengadakan hubungan internasional dengan negara-negara atau gerakan-gerakan Islam se dunia. Baru kemudian marhalah keenam yaitu usaha untuk revolusi Islam se dunia. Dan marhalah (tahapan) yang ketujuh yaitu tegaknya Khilafah Islam.

Namun kenapa dalam prakteknya (marhalah ke empat) proklamasi berdirinya NII tidak diletakkan sesuai tahapan yang telah disusun sebagaimana yang disebutkan di atas? Lantas, proklamasi berdirinya NII tersebut selayaknya lebih tepat bila disebut sebagai proklamasi prematur.

Sedangkan marhalah kelima, prakteknya mana? Koq, pada kenyataannya tidak ada. Bukankah Imam Kartosoewirjo sendiri telah menyatakan sikap apriorinya terhadap eksistensi negara, gerakan dan undang-undang Islam di luar NII, yang dinyatakannya melalui MKT-11, penjelasan 6 sub C yang menyatakan:

Rasa cinta setia kepada ulil Amri Islam atau Imam NII atau Panglima Tertinggi APNII, yang di dalamnya termasuk rasa cinta setia kepada Pemerintah NII dan tidak kepada sesuatu yang di luarnya. Rasa cinta setia kepada NII dan tidak kepada negara di luarnya. Rasa cinta setia kepada Undang-undang (Qanun Asasi) NII dan tidak kepada Undang-undang negara manapun.[21]

Lantas hubungan internasional dengan negara dan gerakan Islam di luar NII tersebut untuk apa? Untuk minta dukungan atau pengakuan ataukah minta sumbangan, seperti yang kini dilakukan oleh Abu Toto?

Sedangkan marhalah keenam, adalah revolusi Islam sedunia. Apanya yang hendak direvolusi, dan sasaranya pun siapa? Ummat, negara dan gerakan Islam yang tidak diakui keislamannya oleh NII ataukah ummat dan negara yang masih kuffar? Konsep dan praktek revolusi Islam sedunia tersebut akan mencontoh dan merujuk kepada siapa? Dengan demikian semua konsep maupun program seperti ini sebenarnya logikanya di mana dan mengambil paradigma dari mana?

Adapun tentang marhalah yang ketujuh, tentang tegaknya khilafah. Kenapa dalam prakteknya klaim khilafah Kartosoewirjo (sebagai Khalifah Allah dan Khalifatun Nabi) justru malah dilaksanakan secara jungkir balik dengan konsep tujuh tahapan tersebut? Bukankah masalah Khilafah dalam NII didakwahkan dan dicanangkan Kartosoewirjo justru ketika masih jauh dari marhalah keempat? Padahal kondisi objektif yang sesungguhnya wilayah Daulah Islamiyah NII dari sejak dahulu sampai sekarang itu juga belum ada, kalaupun ada letak maupun wujud serta basis eksistensialnya di mana dan bentuknya seperti apa? Basis eksistensi yang imaginer? Kok Imam Kartosoewirjo malah sudah berani mengaku-aku sebagai Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah? Bukankah ini merupakan bukti konkret tentang rancu, absurd dan inkonsistensinya komunitas NII berikut konsep-konsepnya?

Akan tetapi anehnya dengan isu basis Daulah maupun Khilafah Islamiyah NII yang seperti ini pun memang terbukti ternyata masih laku, setelah strata masyarakat kebanyakan ternyata mau menerima doktrin yang isinya mendikotomi kenyataan hidup di bawah struktur Daulah Kuffar RI yang secara de facto dan de jure telah menjadikan kalangan muslim terhina dan dipinggirkan; kemudian membandingkan dengan kehidupan di bawah struktur Daulah NII yang diyakinkan sangat Islami penuh maghfirah dan dijamin masuk sorga, seraya mempromosikan kedustaan lain tentang telah banyaknya para pejabat dan aparat rezim Orde Baru, TNI-POLRI yang bergabung untuk memperjuangkan bersama-sama tegaknya Daulah Islamiyah NII. Dusta seperti ini sebenarnya sudah berjalan sejak NII struktur Adah Djaelani (sekitar tahun 1976-1980).

Opini publik yang juga dibangun dan gencar dilakukan tentang Islam (Daulah NII) sebagai solusi alternatif yang memungkinkan bangkitnya bangsa Indonesia dari kehancuran multi-dimensi, mampu meyakinkan banyak kalangan, bahkan memperoleh simpati. Hatta, sekalipun masalah bai’at dijadikan sebagai prosedur resmi wujud stempel keabsahan bagi kemusliman seseorang, masyarakat pun bisa menerima dengan legowo tanpa sedikitpun sikap kritis.

Bahkan ketika komunitas gerakan NII mempermaklumkan statemen yang pada awalnya menyatakan Islam tidak akan bisa tegak tanpa Daulah dan berlanjut pada statemen tidak dipandang benar dan absah kemusliman seseorang sebelum menerima dan tunduk kepada Daulah NII, atau menyatakan bahwa seluruh komunitas muslim di luar komunitas NII adalah muslim bi jahalah, mereka tidak berkewajiban menegakkan syari’at Allah. Dan puncaknya mereka menyatakan barangsiapa yang tidak setuju dan tidak mendukung tegaknya Daulah (NII) mereka itulah orang yang sesat, kafir dan durhaka, sekalipun mereka rajin shalat, shaum, membayar zakat dan haji, seraya mengutip hadits yang menjelaskan tentang wajibnya berjama’ah dan bai’at.

Adapun dalam masalah bai’at, komunitas NII menempatkannya sebagai sesuatu yang sangat istimewa, suci dan sakral, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan mereka justru mempermainkan dan menjadikannya sebagai alat untuk mencari dana serta merekrut ummat. Ketika mereka menyampaikan kepada masyarakat tentang kedudukan dasar hukum, bentuk dan sifat maupun fungsi, urgensi serta mekanisme bai’at sepenuhnya merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah serta Sierah Nabawiyah. Namun ketika para masyarakat telah terpengaruh, tunduk, siap dan bersedia memberikan loyalitas penuh, tiba-tiba komunitas NII dengan cerdik dan liciknya mengalihkan orientasi bai’at itu hanya untuk kepentingan lembaga dan pimpinan NII, dan sama sekali tidak mencerminkan dalam rangka menghamba kepada Allah, menetapi syari’at dalam ubudiyah serta demi memperoleh maghfirah, rahmah, karunia dan keridlaan Allah, ketenangan jiwa dan kemenangan yang dekat seraya mengutip QS 48:19 sebagai berikut:

“Sungguh Allah telah ridla terhadap kaum mukminin ketika mereka berbai’at kepadamu di bawah pohon (Daulah NII), maka Allah pun mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lantas Allah menurunkan sakinah atas mereka serta menjanjikan kemenangan yang dekat bagi mereka (terhadap NKRI).”

Inilah wujud konkret sikap fusuq dan hipokrit komunitas NII yang telah mengacak-acak dan menjungkir-balikkan prinsip, nilai dan norma-norma Islam.

Komunitas NII yang mengeksploitasi kedudukan hukum bai’at dalam Islam dan menjadikannya sebagai syarat mutlak seseorang menjadi muslim dan mukmin serta diterima sebagai warga NII. Namun kalangan NII KW-9 telah mengubah bai’at tersebut dengan istilah baru Musyahadatul Hijrah yang difahamkan sebagai wujud dan bentuk kontrak ketasliman (wujud penerimaan, ketundukan dan kepasrahan kepada Mulkiyah Allah) dan juga sebagai bukti hijrah ke Madinah serta sebagai bukti legitimasi kewargaan baru di Madinah.

Yang lucu, pendefinisian maupun pemahaman tentang bai’at sesungguhnya sangat menyimpang jauh dari rujukan Islam sekalipun mereka tetap menggunakan dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang bai’at, namun hal itu ternyata hanya alih-alih sebagai dalih belaka. Selain itu dalam komunitas NII sendiri antara faksi yang satu dengan yang lain terjadi aksi saling mewajibkan musyahadah ulang, terutama faksi Abu Toto.

NII Faksi Abu Toto memberlakukan wajib musyahadah ulang kepada warga NII dari faksi lain yang “hijrah” ke NII Faksi Abu Toto, sekaligus dalam rangka menafikan keberadaan faksi lain tersebut, dan mencaploknya sebagai warga faksinya.

Padahal secara fiqh, hukum bai’at atau pembai’atan yang berlangsung secara tidak benar atau tidak tepat atau diberikan kepada person (pribadi) yang salah pada dasarnya secara otomatis menjadi gugur atau batal demi hukum, baik dengan atau tanpa mencabut bai’at tersebut.

Akhirnya, kita pun harus menyadari dengan sepenuh kesadaran bahwa, petunjuk atau hidayah Allah itu memang hanya diberikan Allah khusus kepada orang yang dikehendaki diantara hamba-hamba-Nya, yang memiliki kesediaan untuk senantiasa taubat, merujuk dan ittiba’ kepada kehendak-Nya.

Dengan beberapa indikasi di atas kita sebenarnya bisa mengenal sesat tidaknya faham dan ajaran NII tersebut. Demikian pula halnya bagi orang-orang yang berilmu, sebab yang bisa dan mampu melihat sesat tidaknya seseorang atau sekelompok orang hanyalah orang yang berilmu dan beriman (lantaran hidayah Allah dan perlindungan yang diperolehnya dari Allah untuk menghadapi tipu daya iblis beserta para muqallid atau pengikutnya). Sedangkan bagi orang-orang yang mengaku berilmu dan beriman namun tidak mampu melihat kesesatan seseorang atau suatu gerombolan yang berkepastian sesat dan menyesatkan, maka mereka itu jelas bukanlah orang yang berilmu dan beriman, akan tetapi mereka itu adalah termasuk sebagai golongan gerombolan orang-orang yang sesat dan menyesatkan.

“Allah yang akan memilih kepada al-Islam orang-orang yang dikehendaki dari kalangan hamba-hamba-Nya dan memberi hidayah untuk menerima al-Islam bagi mereka yang bertaubat.” (QS 42:13)

Dan tidak ada sedikit pun kewajiban serta tanggung jawab kita untuk menjadikan seseorang atau kalangan yang sedang menderita penyakit B-4 (Bodoh, Buta, Budeg dan Bisu) untuk bisa dan mampu menjadi ‘Alim, Melek, Mendengar dan menjadikan mereka bisa Berbicara secara benar tentang Islam. Sebagaimana yang telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum mu’min. Sesungguhnya Rabb engkau (Muhammad) yang memutuskan (persoalan yang terjadi di antara mereka) dengan hukum-Nya, karena Dialah yang maha Perkasa lagi Mengetahui. Maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran yang nyata. Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan pernah bisa menjadikan mendengar orang yang mati dan tidak pula bisa menjadikan orang yang pekak-budeg itu mendengar seruan dakwah apabila ia lebih memilih untuk berpaling ke belakang. Dan engkau tidak akan bisa memberi petunjuk orang yang buta terhadap kesesatannya, sebab yang mampu mendengar itu tidak lain kecuali orang-orang beriman terhadap ayat-ayat Kami sedang mereka berserah diri.”(QS 27:77-81).

Demikianlah bahasan ini disampaikan, semoga disertai petunjuk Allah sehingga kita bisa dan mampu mengambil I’tibar maupun hikmah sebanyak-banyaknya. Dan masalah ini baru satu bagian dari kesesatan di antara banyak kesesatan akibat salah paham terhadap Iman, Hijrah, Jihad, Daulah-Khilafah serta Bai’ah, atau satu sisi dari kesesatan gerakan NII di balik Pesantren Al-Zaytun maupun gerakan NII lainnya yang ternyata masih menyimpan kesesatan yang lain yang banyak sekali implikasi dan side effect-nya.

Hasbiyallahu Lailaha illa Huwa ‘alaihi
tawakkaltu wahuwa Rabbul ‘Arsyil ‘Adzhim.
Allahumma fathiras samawati wal ardl ‘alimil ghaibi
 wasy syahadah Anta tahkum baina ‘ibadika
 fiema kanu fiehi yakhtalifun.
 
Footnote
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz I, hal. 31 dan 33.
[2] Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini Lihat Suroso Abdus Salam, “NII Dalam Timbangan Aqidah”, Jakarta: Al-Kautsar, 2000. Lihat juga tanggapan apologis oleh Rahmat Gumilar yang dimuat dalam Majalah Darul Islam, edisi September 2000.
[3] Mabadiuts Tsalatsah, karya Abd Karim Hasan.
[4] Baca majalah Al-Zaytun edisi 6-7 2000, hal. 97-99.
[5] Baca majalah Al-Zaytun edisi 9 2000, hal. 25.
[6] Menurut tafsir NII, yang dimaksud dengan rasul adalah diri Imam Kartosoewirjo, karena risalah kerasulan menurut NII tidak pernah terputus, sebagaimana yang sudah dibuktikan dan dicontohkan sendiri oleh Kartosoewirjo yang sama sekali tidak merasa malu dan sungkan menyatakan dirinya sebagai Khalifatullah dan Khalifatun Nabi serta sebagai pemegang Komando Allah langsung atas Ummat Islam, lantaran tidak ada lagi yang memperjuangkan kedaulatan khilafah Islamiyah setelah terjadinya keruntuhan kekhalifahan Utsmani. Sedangkan wujud risalah Kerasulan Kartosoewirjo Khalifatullah dan Khalifatun Nabi di Nusantara Indonesia adalah Negara Islam Indonesia itu. Dengan faham yang dianggap sebagai aqidah inilah Kartosoewirjo berjuang membangun politik dan menggalang kekuasaan serta legitimasi. Abu Toto Abdus Salam (AS) Panji Gumilang menggunakan klaim legitimasi ini untuk meraih legitimasi atas pemahaman sikap politik dan kekuasaan yang dibangunnya melalui NII KW-9 maupun NII Al-Zaytun dengan menggelar program Tubarrirul Washilah atau prgram penghalalan segala cara tersebut. Lihat Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator NII SM Kartosoewirjo, Fakta dan Data Sejarah Darul Islam, Jakarta: Darul Falah, 1999, hal. 623. Lihat juga Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo, Jakarta: Sinar Harapan, hal. 134. Lihat juga Pedoman Dharma Bakti, Jilid I: Maklumat Negara Islam Indonesia, Malangbong, 1955, hal. 128-138.
[7] Ini salah satu diantara tafsir sesat Al-Zaytun. Lihat majalah Al-Zaytun edisi 11-2000 hal. 31.
[8] Tingkatan keimanan/kemukminan yang mengacu kepada sikap antisipasi atau counter terhadap tantangan dakwah dan setiap mukmin antara lain: Syaithan yang menyesatkan, Nafsu yang membelenggu, Mukmin yang pendengki, munafiq yang mmebenci serta kafir yang memerangi. Juga sebagai persiapan serta kesiapan memberdayakan kemampuan melaksanakan kewajiban atau tanggung jawab beramal Islami (Ibadah, Mu’amalah dan Harakah serta Siyasah).
[9] Segera bertaubat-Istighfar bila khilaf dan terlupa, lantas isti’adzh dari padanya dan kemudian Isti’anah agar dimampukan Allah dalam memenuhi kewajiban tazkiyah tersebut seraya ittiba’ yaitu mengikuti perintah dan sunnah yang dicontohkan Muhammad SAW serta para sahabatnya.
[10] Ini hanya merupakan satu contoh kasus distorsi dalam bidang dasar-dasar (fundamental) Islam namun akibatnya menjadikan jungkir-baliknya keberagamaan NII, khususnya NII KW-9 atau NII Al-Zaytun pimpinan Abu Toto alias Abdus Salam Rasyidi Panji Gumilang.
[11] Nisbat pemahaman mereka berakar pada surat Al-Mu’minun ayat 2, yang berbunyi: “Sungguh menanglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” Maksudnya: keberuntungan hidup itu hanya didapat bila melaksanakan kewajiban ber-tilawah, tazkiyah dan ta’lim. Itulah yang dimaksud dengan pelaksanaan shalat yang khusyu’ tersebut.
[12] Mereka berpendapat bahwa makna membesarkan Allah itu tidak bisa dengan amal bil lisan saja, tetapi harus dibuktikan dengan keberhasilan membesarkan jama’ah (negara). Maka hal tersebut dianggap lebih penting daripada shalat.
[13] Pemahaman ini sangat terpengaruh oleh kubu NII non struktural, yang menganggap ma’lumat Kartosoewirjo yang dituliskan oleh puteranya (Dodo Muhammad Darda) adalah benar dan absah, serta memiliki kekuatan hukum yang mengikat seluruh anggota atau warga NII. Yang menurut kalangan NII non struktural atau kelompok Fiellah penetapan masa Hudaibiyah ini sudah dicanangkan sejak tahun 1960 oleh Kartosoewirjo atas prediksi kemungkinan adanya kemunduran secara politik.
[14] Sebuah klaim dan pernyataan yang sama sekali sangat menipu dan menyesatkan, karena baik hadits maupun atsar Sahabat serta kitab Sirah (Tarikh Islam) tidak ada satu pun halaman yang menceritakan adanya kejadian tersebut. Komunitas Al-Zaytun memang betul-betul sangat keterlaluan dalam menipu dan berbohong dengan mengatasnamakan Rasul dan Islam. Kutipan tersebut berasal dari artikel pada kolom renungan hikmah dengan judul “Memanfaatkan Ied Tahun 2000” yang ditulis oleh salah seorang guru di Ma’had Al-Zaytun, dan dimuat pada majalah Al-Zaytun edisi III Maret tahun 2000 hal. 10-11.
[15] Pernyataan ini sungguh sangat kurang ajar dan betul-betul mulhid.
[16] Pos Kota, edisi 23 Desember 2000, hal. 8. Dan sebagaimana dimuat dalam MB Al-Zaytun edisi 12-2000.
[17] Menurut mantan pengikut Abu Toto yang pernah menduduki posisi strategis (satu level dengan Raqib Daerah) dan kini sudah sadar (tobat) bahkan merencanakan melakukan serangan balik kepada Abu Toto, saat ini total muqallid (hasil rekrutmen) yang masih setia kepada Abu Toto dan NII yang sudah terintegrasi atas hibah Imamah dari Adah Djaelani mencapai 100.000 orang.
[18] Shadaqah Musyahadah yang dikenakan terhadap mahasiswa Rp 4 s/d 5 juta, sedangkan terhadap pramuniaga dan pedagang asongan sebesar Rp 500 s/d 750 ribu. Lain lagi terhadap kalangan menengah/eksekutif, besarnya sampai Rp 10 s/d 15 juta.
[19] Wawancara dengan Bapak Andreas (Ismail Subardja), 10 Desember 2000.
[20] Mereka menyebutnya Proklamasi, sebuah istilah yang majhul dan sangat tidak dikenal dalam dunia Islam salafus-saleh.
[21] Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, edisi lengkap, Darul Falah, Jakarta, Juli 1999, hal. 634